Kita
semakin kehilangan kemampuan untuk benar tanpa menyalahkan. Kita
semakin tidak sanggup untuk benar, kecuali harus dengan menyalahkan.
Yang benar kita, orang lain salah. Semua dan setiap pihak, berdiri pada
posisi itu.
Di
wilayah hukum, harus jelas benar dan salahnya. Tetapi di wilayah budaya,
ada faktor kebijaksanaan. Di wilayah poilitik, ada kewajiban untuk
mempersatukan. Agama menuntun kita dengan menghamparkan betapa kayanya
dialektika antara Sabil (arah perjalanan), Syari’ (pilihan jalan),
Thariq (cara menempuh jalan) dan Shirath (presisi keselamatan bersama di
ujung jalan).
Itulah
“kemanusiaan yang adil dan beradab”, “persatuan Indonesia”, “hikmat
kebijaksanaan” serta “keadilan sosial bagi seluruh”, bukan “bagi
sebagian”. Tetapi kita muter-muter di dalam lingkaran setan, di mana
kita harus selalu menyalahkan, demi supaya kita benar. Supaya kita
benar, diperlukan orang dan pihak lain yang salah. Kita tidak bisa benar
dengan kebenaran itu sendiri secara otentik dan mandiri.
Rakyat
kecil sanggup melaksanakan “organisme kebenaran”nya secara natural dan
kultural, tetapi kaum menengah dan elit pemimpin belum pernah berhasil
menyelenggarakan “organisasi kebenaran” Negara dan Pemerintahannya untuk
menciptakan zona nyaman bagi rakyatnya. Istilah Jawanya: di bawah sudah
berlangsung “deso mowo coro”, tapi di atas belum berlangsung “Negoro
mowo toto”.
Apakah itu
disebabkan oleh ketidakyakinan atas kebenaran yang kita pilih. Atau
ketidakjelasan pengetahuan dan ilmu tentang kebenaran. Ataukah semacam
kelemahan mental, di mana kita selalu memerlukan orang untuk kita
salahkan, sebagai syarat psikologis agar kita merasa benar.
Atau
memang ini hakikat hidup: ada benar dan salah, baik dan buruk, indah
dan jelek. Saya mengkritik keras diri saya sendiri dan memeriksa ulang
seluruh pengetahuan dan sikap hidup saya. Seberapa kadar keterlibatan
saya dalam kelemahan ilmu dan penyakit mental jenis ini. Saya tidak
pernah mengemukakan kebenaran kalau yang saya maksudkan adalah
kebatilan. Saya tidak pernah meluluskan keburukan sebagai kebaikan,
dengan akibat-akibat sosial yang sebenarnya luar biasa besar dan
berbahaya.
Saya
berbicara dan menulis apa adanya. Tetapi saya kasih tahu diri saya,
bahwa yang dimaksud apa adanya itu tidak berarti pasti benar dan baik.
Saya apa adanya adalah saya dengan kelemahan mental, ketidakcukupan
ilmu, kesempitan pengetahuan. Mungkin juga ketidakterbimbingan oleh
kebijaksanaan.
Kalau
saya menengok keluar jendela hidup saya, menatap Indonesia dan dunia,
rasanya beberapa tahun belakangan ini sangat digaduhkan oleh
situasi-situasi “benar ialah menyalahkan”, “baik ialah
menjelek-jelekkan”, sebagaimana “menang ialah mengalahkan”. Nenek moyang
jadul saja punya “menang tanpo ngasorake”. Apalagi kalau tak
diperjelas peta nilainya, kita bisa terpeleset: karena menang maka kita
merasa benar dan baik.
Yang
saya pandang di luar jendela itu ternyata bukan tidak ada saya di
hamparannya. Saya tidak steril dari merasa benar dan merasa baik. Saya
tidak merdeka dari keterpelesetan ilmu, kesembronoan mental dan
ketidakwaspadaan sikap sosial. Saya merasa tidak terikat oleh
kepentingan keduniaan apapun, tetapi tidak berkepentingan itu sendiri
adalah suatu jenis kepentingan. Sebagaimana konsistensi untuk tidak
berpamrih sebenarnya adalah perjuangan pamrih juga, meskipun pamrihnya
adalah tidak berpamrih.
Jangan-jangan
manusia memang “dipermainkan” oleh hakikat hidupnya sendiri. Cahaya
disadari dan dirindukan dari area kegelapan. Malam menerbitkan kebutuhan
terhadap siang. Penderitaan menyeretkan dambaan untuk memperoleh
kebahagiaan. Tuhan sendiri adalah “muqallibul qulub”, yang
membolak-balik hati manusia. Tuhan penyelenggara “ikhtilafil laili
wannahar”, arsitek pergantian siang malam. Meskipun Tuhan menolong kita
di tengah pusaran kebingungan: “muhawwilul hal wal ahwal”, mengurus
segala urusan. “Balighul amr”, mengantarkan kita menuju keberesan
sesuatu yang kita perjuangkan.
Saya
pernah mendengar dari nenek moyang bahwa gagasan orisinalnya Tuhan
ketika menciptakan Adam adalah positivisme. Ia menciptakan
makhluk-makhluk untuk diajak bermesraan. Menciptakan hamba-hamba untuk
mematuhi kehendak-Nya, karena Ia memenuhi segala kebutuhan kesejahteraan
dan kebahagiaannya. Sampai kemudian Iblis mengacaukannya.
Makhluk
senior yang dulunya paling dekat dengan Tuhan ini memang usil dan iseng
punya. Tujuh ribu tahun ia paling rajin mengabdi, paling khusyu’,
paling ruku’ dan paling sujud. Tapi ternyata diam-diam menyimpan
kelelahan dan dendam di dalam jiwanya. Ketika Tuhan memberinya waktu
untuk istirahat, diiringi ribuan Malaikat lainnya berkeliling-keliling
jagat raya, sesampainya di bumi, ia tak mau kembali ke kampungnya di
langit tujuh.
Ternyata
Kanjeng Idajil ini hedonis materialistik. Makhluk “hubbud-dunya”,
pecinta dunia, penggemar benda dan segala sesuatu yang kasat mata dan
bisa dinikmati dengan pancaindera. Ia cemburu pada gagah dan atletisnya
tubuh Sang Adam, wajah handsome-nya, kesempurnaan konstruksinya serta
proporsi struktur badannya. Lebih dengki lagi kepada jabatan Adam yang
diserahi Tuhan untuk memimpin kehidupan di dunia.
Maka
Iblis bersumpah akan mempelesetkan langkah Adam, mengaburkan ilmunya,
membalik pengetahuannya, menggoda hatinya dan menggerogoti iman dalam
jiwanya. Lancang dan gagah berani Smarabhumi Idajil ini. Maka terjadilah
polarisasi. Pemetaan protagonis dan antagonis. Densitas positif dan
kerapatan negatif. Pergantian siang dan malam. Pertentangan cahaya
dengan kegelapan. Kesucian dan kemaksiatan. Ketundukan dan keingkaran.
Efisiensi dan pemborosan. Bahkan kesabaran dan ketergesaan.
Tuhan
memperkenankan tantangan Iblis. Mereka bikin kontrak. Berlaku sampai
Hari Kiamat. Iblis diberi peluang dan “tenggang waktu sejenak”,
“amhilhum ruwaida”. Untuk mencelakakan manusia. Menyesatkan jalannya.
Menipu pengetahuannya dan memecah ilmunya. Visi misi Iblis adalah
membuat manusia merusak dirinya, menganiaya sesamanya, menipu dan
mencuri, membikin bumi luka parah, juga memprovokasi untuk konflik
permanen, perang dan penumpahan darah. Dan Tuhan menadahi output-nya
dengan menyediakan sorga dan neraka.
Tuhan
menyiagakan para Malaikat untuk membantu manusia mengantisipasi
intervensi Iblis. Sayangnya manusia tidak menyelenggarakan pendidikan
budaya, Sekolah atau Universitas, dalam keluarga dan rumah-rumah ibadah –
untuk mendidik generasi barunya bagaimana mengaktivasi Malaikat di
dalam dirinya. Bahkan tidak ada pendidikan dan pembiasaan yang membuat
anak-anak rajin menyapa para Malaikat. Baik Malaikat yang tugas ronda di
alam semesta di bawah koordinasi Jibril, Mikail, Isrofil dan Izroil,
sampai kelak Ridwan, Zabaniyah dan Malik. Juga yang mengiringi manusia,
Muaqqibat, Muhafadlah, Syakhlatus Syams, Mutalaqqiyan, Raqib, Atid, dan
banyak lagi. Kalau tidak sempat disapa satu per satu, mestinya boleh
dijamak: “Assalamu ‘alaikum ya Malaikatallah”.
Kita
berharap para Malaikat memaklumi bahwa manusia sibuk dengan
globalisasi. Rakyat Indonesia tidak punya waktu karena suntuk memikirkan
impor garam, tarif dasar listrik naik, dan uang tabungan untuk haji
mereka akan dipakai untuk membangun infrastruktur. Sebagian mereka
bahkan bingung mencari tahu infrastruktur itu apa. Masih familinya
Fatkhur ataukah keponakan Gus Dur.
Rakyat
Indonesia tidak sempat menoleh dan melambaikan tangannya kepada
Malaikat. Jangankan Muqorrobin, ke Jibril pun tak sempat. Maaf-maaf ada
urusan reklamasi pantai utara sepanjang Pulau Jawa. Belum lagi tol
laut, kereta cepat dan Meikartapolitan. Persoalan rakyat Indonesia bukan
hanya bertumpuk-tumpuk, bahkan tumpukan masalah itu menimbun dan
menindih mereka. Terakhir ini bahkan ada benda yang sangat besar dan
berat menimpa punggung mereka. Ada patung raksasa di kampung halaman
Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang. Di tengah merasakan punggung serasa
patah-patah, mereka berdebat apakah itu patung Malaikat kah atau patung
Iblis. *
Emha Ainun Nadjib.
7 Agustus 2017
#Khasanah
- Get link
- X
- Other Apps
Comments