Di tengah Bapak kami bercerita tentang “Kenapa Bukan
Sunan Kalijaga saja yang jadi Sultan”, “Kenapa pendiri Jombang tidak
duduk memimpin Jombang”, “Amanah Cincin dari Mbah Kholil Bangkalan”,
“Aliran Pencak Silat Ki Tebuireng” — Kakak lagi-lagi mengejar soal rasa
bersalah sebagai modal utama pada jiwa seorang pemimpin.
Karena
di tengah kisah-kisah itu Bapak nyeletuk: Rakyat yang paling sial di
suatu desa, atau yang paling celaka di suatu Negara, adalah kalau
pemimpinnya tidak punya rasa bersalah.
“Apa ada pemimpin yang seperti itu”, Kakak nyeletuk.
“Kenapa tidak”, jawab Bapak, “Banyak faktor yang bisa menjadi sebab seorang pemimpin tak punya rasa bersalah”
“Contohnya, Pak”
“Banyak
sekali. Umpamanya: orang menjadi pemimpin karena ambisi pribadi.
Menjadi pemimpin karena karier. Menjadi pemimpin karena direkayasa oleh
sindikat penjudi dan penjahat. Menjadi pemimpin untuk menumpuk
kekayaan….”
“Kok mengerikan begitu”, kata Kakak.
“Ada
juga karena ia memang tidak paham bahwa menjadi pemimpin adalah menjadi
buruhnya rakyat. Sehingga ia tidak sungguh-sungguh dan tidak lengkap
menguasai peta permasalahan yang ditanganinya, sehingga ia tidak punya
ukuran untuk menilai apakah ia sedang melakukan kebenaran atau
kesalahan”
“Tapi benar
atau salah kan tergantung pijakan pandangnya”, Kakak membantah, “Seorang
Kepala Negara bisa merasa benar menurut kepentingan kekuasaannya, tapi
bisa salah kalau dilihat dari kedaulatan rakyat atas kesejahteraannya”
Bapak
menjelaskan: “Justru yang saya maksud adalah pemimpin yang tidak mampu
mengurai beda antara kepentingannya untuk melestarikan kekuasaannya,
dengan hak-hak rakyat untuk mendapatkan keadilan”
“Apa
mungkin suatu bangsa atau rakyat memilih pemimpin yang tidak memiliki
tata logika untuk memilah dua konteks itu, bahkan tidak menguasai peta
permasalahan?”
“Kenapa tidak”
“Apa sedemikian terbelakangnya rakyat Negara itu sehingga memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemimpin?”
“Kalau
rakyatnya memiliki hak pilih yang otentik, seharusnya hal itu tidak
terjadi”, jawab Bapak, “tetapi kalau dalam demokrasi yang berlangsung
rakyat tidak punya peluang untuk benar-benar memilih pemimpin dengan
nurani dan perhitungan akal sehatnya, bisa saja yang terpilih adalah
Presiden yang lebih parah dibanding yang kau tanyakan itu”
“Kok bisa rakyat tidak punya peluang untuk memilih pemimpinnya?”
“Karena
rakyat hanya dipilihkan oleh partai-partai politik. Ibarat pasar, ada
beribu, bahkan berjuta makanan, tetapi partai politik hanya mengambil
satu atau dua atau tiga makanan saja. Dan rakyat hanya punya peluang
untuk memilih satu di antara dua atau tiga itu”
“Apa partai politiknya sedemikian bodohnya sehingga memilihkan satu dua makanan busuk untuk dipilih oleh rakyatnya?”
“Tidak
harus bodoh. Mungkin justru sangat pandai. Hanya saja kriteria yang
mereka pakai bukan kualitas kepemimpinan. Calon pemimpin dipilih
berdasarkan tawar-menawar harga, berdasarkan lalulintas keuangan. Mereka
saling menghitung calon-calon mana saja yang paling bisa dipakai untuk
mengeruk keuntungan. Bisa saja yang dipilih adalah boneka, patung atau
berhala. Yang penting menguntungkan”
“Kenapa rakyat mau memilih boneka, patung atau berhala untuk menjadi pemimpinnya?”
“Karena
partai politik memperkenalkan calonnya dengan mendustakan kenyataannya.
Calon pemimpin ditampilkan dengan pencitraan, pembohongan, dimake-up
sedemikian rupa, dibesar-besarkan, dibaik-baikkan, diindah-indahkan,
dihebat-hebatkan”
“Itu bukan politik namanya, Pak, itu kriminal”
“Memang
bukan politik, melainkan perdagangan. Bukan demokrasi, melainkan
perjudian. Memang bukan kepemimpinan, tapi talbis. Kalau dipaksakan
untuk disebut demokrasi, ya itu namanya Demokrasi Talbis”
“Talbis itu apa to Pak?”
“Talbis
adalah Iblis menemui Adam di sorga dengan kostum dan make up Malaikat,
sehingga Adam menyangka ia adalah Malaikat. Maka Adam tertipu. Rakyat
adalah korban talbis di berbagai lapisan. Mereka dibohongi sehingga
menyangka bahwa yang dipilihnya adalah pemimpin, padahal boneka. Boneka
yang diberhalakan melalui pencitraan”
“Apakah pemimpin yang demikian bisa berkuasa?”
“Yang
benar-benar berkuasa adalah botoh-botoh yang membiayainya. Setiap
langkahnya dikendalikan oleh para botoh. Setiap keputusannya sudah
dipaket oleh penguasa modal. Ia tidak bisa mandiri, karena dikepung oleh
kelompok-kelompok yang juga saling berebut demi melaksanakan
kepentingan masing-masing”
“Apa ia tidak merasa malu menjadi boneka?”
“Itu
satu rangkaian: tidak merasa bersalah, tidak malu, tidak tahu diri, tak
mengerti bahwa ia sedang menyakiti dan menyusahkan rakyatnya, tidak
memahami posisinya di hati masyarakat, tidak punya cermin untuk melihat
wajahnya”
“Sampai separah itu, Pak?”
“Tidak
punya konsep tentang martabat manusia, harga diri Bangsa dan marwah
Negara. Hanya mengerti perdagangan linier dan sepenggal, tidak paham
perniagaan panjang yang ada lipatan dan rangkaian putarannya. Tidak
memahami tanah dan akar kedaulatan, pertumbuhan pohon kemandirian,
dengan time-line matangnya bunga dan bebuahannya. Pemimpin yang demikian
membawa bangsanya berlaku sebagai pengemis yang melamar ke Rentenir…”
“Pemimpin yang seperti itu akhirnya pasti jatuh dan hancur”, kata Kakak.
“Belum
tentu”, kata Bapak, “Jangan lupa bahwa kalau para botoh mampu
mengangkat berhala ke kursi singgasana, berarti mereka juga menguasai
seluruh perangkat dan modalnya untuk bikin apa saja semau mereka di
Negara itu. Juga selalu sangat banyak orang dan kelompok yang mencari
keuntungan darinya, bahkan menggantungkan hidupnya. Sehingga mereka
membela boneka itu mati-matian. Mereka selalu mengumumkan betapa baik
dan hebatnya pemimpin yang mereka mendapatkan keuntungan darinya,
sampai-sampai akhirnya mereka yakin sendiri bahwa ia benar-benar baik
dan hebat. Uang, kekuasaan dan media, sanggup mengumumkan sorga sebagai
neraka, dan meyakinkan neraka adalah sorga”
Emha Ainun Nadjib
Yogya, 1 Agustus 2017.
#Khasanah
Comments