Skip to main content

SIKLON DAN ANTI-SIKLON DI YOGYA (Keris kok Bawahan Pedang)


Makin banyak orang bertanya kepada saya: kok kayaknya ada sesuatu di Yogya? Bagaimana saya menjawabnya? Apakah saya punya hak atau kewajiban untuk menjawabnya? Apakah saya punya pengetahuan untuk menjawabnya? Andaikan saya sedikit tahu tentang itu, lantas menjawabnya: jangan-jangan itu bukan pengetahuan saya, melainkan pendapat saya.

Dan kalau itu pendapat saya, jangan-jangan itu ternyata adalah bias dari posisi saya, dari selera saya, atau malah dari kepentingan saya. Kemudian kalau ternyata itu bias, bagaimana kalau kemelencengan atau pembiasan itu berasal dari ketidaklengkapan informasi yang saya peroleh dari luar. Atau malah merupakan produk dari prasangka dari dalam diri sendiri. Lebih parah lagi kalau prasangka itu ternyata hasil dari takhayul atau pengkhayalan subjektif dalam diri saya.

Kalau dari obrolan di angkringan, diskusi di forum, atau di koran dan media lain di Yogya saya mendengar kata mangku, paugeran, buwono, sabda, diskriminasi, wangsit, raja, bumi, perempuan, bawono, wahyu, konstitusi, laki-laki, sultanah, kaum, keraton, mahkamah, bebener, putusan, pranatan, pepener, kaisar, dalem, merah, kokoh, hukum – lantas dalam pikiran saya muncul refleksi, analisis atau pandangan: apakah saya bisa menjamin bahwa refleksi saya itu tidak bias? Yang siapa tahu merupakan keluaran dari komplikasi panjang pengetahuan sejarah subjektif saya?

Lebih parah lagi: bagaimana kalau ekspresi dan sosialisasi kata mangku, paugeran, buwono, sabda, diskriminasi, wangsit, raja dan semua itu ternyata juga bias? Bagaimana kalau berbagai kata itu diungkapkan oleh berbagai pihak Keraton Yogya, Mahkamah Konstitusi, wartawan, para ahli dan siapapun – ternyata juga bias? Bias pemahaman? Bias pengetahuan? Bias ilmu? Bias interpretasi? Bias pola pandang? Bias resolusi pandang? Bias kepentingan pandang?

Bagaimana kalau orang mengungkapkan, kemudian orang lain menerima atau menolak, dan akhirnya orang-orang lainnya lagi memperdebatkan – misalnya – kata buwono dan bawono, sabda dan wahyu, wangsit dan hidayah dan berbagai kata lagi: ternyata adalah festival bias? Parade takhayul? Pesta kegagalpahaman? Kenduri ketidakmengertian? Tumpengan ketidaklengkapan? Bahkan turnamen ketidakterdidikan? Lalu berikutnya, tatkala saya mencoba menjelaskan bahwa itu semua ternyata bias dan takhayul subjektif masing-masing pihak: ternyata penjelasan saya itu juga adalah bias, kegagalpahaman, ketidakterdidikan?

Siapa yang menentukan sesuatu itu bias atau tidak? Siapa “pancer” yang bisa menjadi rujukan untuk memfatwai kata ini itu takhayul atau bukan? Siapa yang memegang pendapat final dan pasti benar bahwa suatu ungkapan itu ngawur atau tidak? Sebagaimana keributan soal hoax, siapa yang bisa dipercaya secara keilmuan, secara kejujuran dan secara kemurnian – bahwa kabar itu hoax atau bukan hoax? Bagaimana kalau pengumuman tentang hoax ternyata adalah juga hoax?

Pada akhirnya yang berlangsung dan menjadi fakta sejarah adalah kekuatan dan kekuasaan. Yang menjadi realitas adalah penguasa. Pemerintah yang mengambil keputusan final bahwa ini hoax dan itu bukan hoax. Dan pada kondisi kepemerintahan tertentu, ketetapannya tentang hoax sangat mungkin justru merupakan yang paling hoax dari segala hoax. Masyarakat berada di tempat yang sangat jauh dari kebenaran yang jernih, pengetahuan yang jujur, serta perlakuan yang bijaksana. Sebab yang menimpa, mengepung dan menindih masyarakat terutama adalah kekuasaan.

Jadi, ketika orang bertanya ada apa sebenarnya di Yogya, jawaban maksimal saya adalah: Sedang ada lesus. Angin siklon dan Antisiklon. Semacam puting beliung. Menerbangkan dan memutar-mutar ratusan kata sehingga tak menentu arahnya. Kata-kata bertaburan tanpa kejelasan patrap kawruh-nya, hampir tak bisa ditemukan maqam maknawi, susah diidentifikasi bebener pepener-nya, ketlingsut konteksnya, kabur titik-titik koordinatnya, serta bagai hampa ruang dan waktunya.

Ada sabda, ada buwono dan bawono, ada wangsit, dan banyak lagi kata yang bercampur kabut di alam pikiran dan semesta batin Yogya. Kata dan kata diucapkan, ditulis sebagai surat keputusan, tanpa dunung, tanpa sangkan paran, tanpa sanad, tanpa matan, tanpa asbabul-kalam, tanpa hulu. Seribu sungai mengalir tidak ketahuan di mana mata airnya, dan tidak ada yang mencari akan sampai di mana sungai itu bermuara. Hujan turun diawali gerimis tanpa diketahui titik-titik air itu tumpah dari angkasa mana dan dari ketinggian berapa.

Kemudian gerimis semakin rapat titik-titik airnya, tanpa ada yang mengkonfirmasikan apakah itu limpahan dari langit, ataukah sesungguhnya gerimis dari angkasa hati di dalam diri manusia-manusia yang ditimpa gerimis. Waktu akan menyeretnya menuju peningkatan gerimis menjadi hujan, lantas hujan menjadi hujan deras. Dan ketika itu terjadi nanti, Keraton dan rakyat Yogya akan hanya menjadi orang-orang yang basah kuyup oleh hujan. Basah kuyup karena tak menyiapkan payung. Juga tidak mengembangkan pengetahuan dan penguasaan atas asal-usul dan konstelasi hujan.

Tak sampai sebulan sesudah proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, pada 5 September 1945, Sultan HB IX dan Adipati Pakualam VIII mengeluarkan pernyataan: “Kami Hamengku Buwono IX, Sultan Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat menjatakan: Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada di tangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kami pegang seluruhnya. Bahwa perhubungan antara Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mengindahkan Amanat Kami ini.”

Hujan angin semakin intensif meliputi Yogya, dengan putaran-putaran siklon dan anti-siklon yang terus meningkat dari hari ke hari, dan “kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat”  –menjadi batal ketetapan sejarahnya dan hapus substansi konstitusionalnya: karena “keris” 5 September 1945 itu menggeser posisinya di bawah kuasa “pedang” Mahkamah Konstitusi NKRI.

Daerah Istimewa Yogya dengan “pancer” Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat merendahkan dirinya atau menurunkan derajat sejarahnya menjadi semacam Kadipaten, yang merupakan bawahan dari “Kerajaan Republik Indonesia”, sehingga tidak lagi “memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada di tangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kami pegang seluruhnya”.


Surabaya, 9 September 2017.
Emha Ainun Nadjib
#Khasanah

https://www.caknun.com/2017/siklon-dan-anti-siklon-di-yogya/

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

MOHON BERSABAR

Seri PadangBulan (98) MOHON BERSABAR ------------------------------------------------------------------------ Markas Hamas, Padangbulan, Kiai Kanjeng, Cak Nun, (tempat program-program "Shalawat, Bernyanyi, Pendidikan Politik, Jamaah Ekonomi, Silaturahmi Kebangsaan danKemanusiaan" digodog) memohon dengan sangat para pengundang di bawah ini (yang terdaftar sampai 10 Nopember 1998) bersabar menunggu giliran jawaban. Undangan acara-acara terpaksa dimohon kearifannya untuk diskedul seirama dengan effisien dan effektifnya route perjalanan acara Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng. Setiap lingkaran wilayah dirangkaikan menjadi satu putaran, agar mondar-mandirnya Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng tidak terlalu boros waktu dan tenaga. Sehari maksimal 5 (lima) acara yang diperhitungkan pembagian waktunya di suatu lingkaran wilayah yang bisa dijangkau. Yang manusiawi sepertinya cukup 3 (acara) dalam sehari. Contoh terakhir (10 Nopember 1998), acara Cak Nun/Kiai Kanjeng/Hamas di Undip, kemudian IAIN &qu