Skip to main content

SETOR DAN SEDEKAH PANCASILA (Seri Pancasila, 13)


Sedang asyik membaca “dlahak kubro” keputusan konstitusi bahwa siapapun boleh jadi Raja Yogya, sambil mulai nulis “Horee! Saya Bisa Jadi Raja Yogya!” — mendadak Pancasila menepuk bahu saya dan berkata keras: “Sudahlah, nggak usah nulis lagi tentang saya. Saya tidak butuh itu semua….”
   
Saya menjawab spontan: “Lho saya yang butuh…”

Saya terus menyentuh-nyentuh kepustakaan primer sumber konstitusi Keraton Ngayogyakartahadiningrat, Mataram Islam: yakni “Serat Suluk Garwa Kencana”, “Serat Iskandar Zulkarnain”, “Serat Yusup”, “Serat Usulbiyah”, bahkan melirik “Tajussalatin” dan “Bustanussalatin”. Bahkan saya siapkan Tumpengan untuk revolusi Yogya. Tumpeng artinya “metu mempeng”. Kalau sudah keluar keputusan, harus tandang maksimal. Cancut Taliwondo.

Tapi akhirnya terpaksa stop dulu. Sebab Pancasila membantah: “Kamu hanya memakai saya untuk bahan setoranmu kepada Tuhan. Kamu menjual saya ke Tuhan, supaya beres masalahmu dengan Dia dan tidak dimarahi”
   
“Bukan menjual Njenengan, tapi saya nyaur utang ke Tuhan. Tapi sebagai warga negara Indonesia, saya sungguh-sungguh membutuhkan Njenengan. Seluruh rakyat Indonesia sangat menantikan wujud keadilan dan keberadaban, persatuan sejati Indonesia, mekanisme permusyawaratan dan perwakilan yang mengakomodasi secara otentik hak dan aspirasi mereka. Sudah bergenerasi-generasi rakyat menunggu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
   
“Aaah, omong kosong!”, makin meninggi suara Pancasila, “Indonesia tidak pernah menyapa saya. Tidak care. Tidak serius mencintai dan mengapresiasi saya. Saya cuma dieksploitasi untuk kemenangan dan kekuasaan politik…”
   
Tiba-tiba pula salah seorang dari sahabat empat saya nimbrung: “Ada agenda apa sih kok getol amat nulis Pancasila?”

Tentulah saya malas menjawab pertanyaan sinis yang bermuatan kecurigaan dan ketidakpercayaan seperti itu. Hampir saya nyeletuk: “Karena saya Muslim. Karena saya dibesarkan di lingkungan nilai Islam. Sejak kecil saya dilatih menemukan Islam di alam dan kehidupan manusia…”

Tetapi sebelum saya sempat menjawab, sahabat yang lain mendahului: “Sebenarnya tidak ada Pancasila pun kehidupan ini tidak merugi apa-apa. Bahkan seandainya suatu hari tidak ada Indonesia, juga itu wajar dan rasional saja. Sebab urusan Tuhan hanya dengan manusia. Per manusia. Indonesia mungkin disebut-sebut, tetapi sekadar sebagai bagian dari urusan per manusia itu”
   
Sahabat lain menambahkan: “Tugas kita kan memang di sub-sub-directory yang bernama Indonesia. Sub-directory-nya bumi. Directory-nya jagat raya. Partisinya Amr. C-prompt-nya Iradat. Hakiki Pancasila adalah hidden files di root-nya, meskipun di situ tidak disebut Pancasila. Ia menjelma Pancasila di sub-sub-directory Indonesia. Sebagaimana Nur Muhammad sejenak menjelma Muhammad bin Abdullah di pusat kumparan energi bumi. Kualitas kepribadiannya Al-Amin. Pangkatnya Nabi. Jabatannya Rasul. Jimatnya kelembutan. Keris pusakanya kasih sayang…”
   
Dilengkapi oleh sahabat yang lain lagi: “Kita mengkhusyuki Pancasila sebagaimana Muhammad mengganjal perutnya dengan batu karena lapar. Tinggal di rumah bilik yang panjangnya 4,80 meter dan lebarnya 4,62 meter. Menangis di setiap shalat malam karena tidak tega melihat kehidupan manusia, meskipun sorga sudah menanti. Ditenung orang sampai badan memanas di suhu 53 derajat Celcius. Kita harus menerima penderitaan lebih menyakitkan dibanding derita manusia lain siapa saja. Tanpa menikmati seperseribu pun kesejahteraan dari kekayaan rata-rata manusia. Kita berpuasa tak mengejar hak-hak kita atas Indonesia. Kita bertirakat tidak mengambil dan merebut apapun dari Indonesia. Kita sangat serius mendalami Pancasila karena inilah salah satu sedekah utama kita kepada Indonesia”

Empat sahabat bersahut-sahutan menjawab. Saya jadi ringan. Sempat mengantuk dan tidur, sambil jantung saya tetap berdegup, napas saya tetap berlangsung, darah saya tetap mengalir, setiap sel dan pori-pori saya mendokumentasi semua yang sahabat-sahabatku omongkan.

“Di kalangan Kaum Muslim sangat populer pandangan bahwa “kita haturkan shalawat dan salam kepada junjungan Baginda Nabi Muhammad saw yang telah membawa kita terbebas dari keadaan Jahiliyah menuju zaman yang bercahaya terang benderang”. Jangan dipikir bahwa Abu Sufyan digelari Abu Jahal (bapaknya kejahiliyahan) karena dia bodoh, tidak bisa berpikir dan bukan intelektual. Jahiliyah bukanlah soal kebodohan atau kemunduran berpikir. Di masa Muhammad memperkenalkan Tauhid, kebudayaan Arab sangat tinggi, kaum cendekiawan, sastrawan, penyair dan budayawan sedang prima prestasinya.”
   
“Mereka disebut Jahiliyah tidak karena bodoh, melainkan karena kepandaiannya tidak didayagunakan untuk ma`dabah, untuk menyelenggarakan bangunan hidup yang “adil dan beradab”. Atau kalau pada perspektif Tuhan Yang Maha Esa: kecendekiawanan masyarakat Abu Jahal tidak diaplikasikan untuk mencapai keselamatan di hadapan Tuhan. Keselamatan itu bisa pada level tidak dimurkai oleh Tuhan, atau puncaknya: diridlai oleh-Nya.”

(Bersambung)
Emha Ainun Nadjib
03 September 2017
#Khasanah

https://www.caknun.com/2017/setor-dan-sedekah-pancasila/


Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

MOHON BERSABAR

Seri PadangBulan (98) MOHON BERSABAR ------------------------------------------------------------------------ Markas Hamas, Padangbulan, Kiai Kanjeng, Cak Nun, (tempat program-program "Shalawat, Bernyanyi, Pendidikan Politik, Jamaah Ekonomi, Silaturahmi Kebangsaan danKemanusiaan" digodog) memohon dengan sangat para pengundang di bawah ini (yang terdaftar sampai 10 Nopember 1998) bersabar menunggu giliran jawaban. Undangan acara-acara terpaksa dimohon kearifannya untuk diskedul seirama dengan effisien dan effektifnya route perjalanan acara Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng. Setiap lingkaran wilayah dirangkaikan menjadi satu putaran, agar mondar-mandirnya Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng tidak terlalu boros waktu dan tenaga. Sehari maksimal 5 (lima) acara yang diperhitungkan pembagian waktunya di suatu lingkaran wilayah yang bisa dijangkau. Yang manusiawi sepertinya cukup 3 (acara) dalam sehari. Contoh terakhir (10 Nopember 1998), acara Cak Nun/Kiai Kanjeng/Hamas di Undip, kemudian IAIN &qu