Skip to main content

Para Patriot (1)

Sahabat kita yang lain adalah seorang pemuda gagah namun pekerja keras. Ia mahasiswa (Agronomi di satu universitas swasta Malang, Jawa Timur), namun tak malu bekerja kasar.
Ia putra keenam dari sembilan bersaudara, mengerti kedua orang-tuanya rnemanggul beban terlampau berat, sehingga ia memutuskan untuk ikut mengurangi beban itu. Setidak-tidaknya mungkin ia malu: Wong mahasiswa itu agent of social change, elite intelektual dan calon pemimpin bangsa kok numpang makan dan minta biaya sekolah kepada orang tua yang pendidikannya rendah dan melarat. Mosok ujung tombak era industrialisasi dan globalisasi kok nyusu pada orang agraris-tradisional.
Banyak macam usaha ia tempuh. Makelaran, dagang kecil-kecilan, namun masih belum sumbut untuk keperluan sehari-hari dan biaya kuliah yang merupakan idaman orang tua. Pernah juga ngenger ke sejumlah orang kaya, tapi belum saling ada kecocokan.
Apa yang ia idamkan adalah seandainya ada yang bersedia meminjami modal, dengan perjanjian dan prosedur yang dirundingkan secara fair. "Syukur kalau tanaman anggrek kaya jenis Douglas & Katlya bisa segera laku," tambahnya.
Pemaparan ini tidak hanya mengimbau Kepada Anda-Anda yang bersedia merogoh saku. Ini berlaku juga siapa saja yang tahu manfaat tambah teman dan ilmu pergaulan.
***
Lain lagi Ibunda atau Mbakyu kita berikut ini. Ia bentrok terus dengan suaminya masalah Keyakinan agama dan kini dalam proses meresmikan perpisahan.
Hmmm... yang namanya perpisahan atau perceraian, memang unik. Itu sebuah kemungKinan sunnatullah.

Mungkin karena darurat, mungkin karena memang harus demikian diaektikanya. Bahkan perpisahan bisa merupakan saiah satu bentuk persatuan. Burung 'Dali' di udara terus, burung Gemek/Gemak di daratan dan semak-semak pohon terus: Itu perpisahan fisik, sekaligus persatuan hakiki dalam menjalankan ekosistem kehidupan.
"Lek idek mambu taek, lek adoh mambu kembang." Mbakyu kita ini melihat dan yakin, sebagai mantan suami mantan istri. mereka masing-masing justru bisa berbuat lebih baik di tempatnya sendiri-sendiri yang baru.
Ia sendiri mencoba menemukan diri yang terbaiknya. Output dari segala kompleksitas problem dan kegagalan rumah tangganya, tidak berupa sikap nekad atau kompensasi-kompensasi negatif. Yang menjadi tekadnya kini ialah memusatkan sisa hidupnya untuk "menyeru manusia kepada Tuhan", semacam muballighat, sambil bekerja untuk mencari sandang pangan ala kadarnya sebagaimana orang-orang lumrah lainnya.
Dari Semarang, eks domisilinya, ia telah melakukan perjalanan ke Yogyakarta, Ponorogo (Jawa Timur) dan lain-lain untuk angon nasib, mempelajari agarna secara mendalam dan mencari kemungkinan-kemungkinan.

Ia kiri tinggal di Jember (Jawa Timur); di rumah seorang ibu yang juga aktivis acara-acara keagamaan. Namun ia tidak bersedia menjadi `benalu'.
Apa yang ia perlukan adalah kesediaan suatu institusi keagamaan, lembaga pendidikan, padepokan santri atau apa saja, di mana ia bisa belajar serius narnun juga bersedia bekerja sekasar apa pun, agar ia 'sah' menjadi manusia hidup.
(Harian SURYA, Senin 22 Pebruari 1993)
(Emha Ainun Nadjib/"Gelandangan Di Kamping Sendiri"/ Pustaka Pelajar/1995/PadhangmBulanNetDok)

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

Buruh 2

Para juragan di perusahaan bisa menatar para buruh -sesudah menatar diri mereka sendiri bahwa perburuhan Pancasila, misalnya, adalah kesejahteraan kolektif pada semua yang terlibat dalam suatu lembaga ekonomi. Suatu akhlak yang memperhatikan kepentingan bersama, tidak ada yang menghisap, tidak ada yang dihisap, tidak ada yang mengeksploitasi dan tidak ada yang dieksploitasi. Tidak harus berdiri sama tinggi duduk sama rendah, sebab tempat kedudukan direktur dengan tukang sapu mernang berlainan sesuai dengan struktur pembagian kerja. Namun setidaknya berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Kalau sudah di tatar oleh direkturnya, para buruh akan berkata: "Kami para buruh ini punya kepentingan agar perusahaan tempat kami bekerja ini bisa maju semaju-majunya! Siapa sih pekerja yang menginginkan tempat kerjanya bangkrut? Tidak ada kan? Semakin maju perusahaan tempat kerja kami, semakin sejahtera pula kehidupan kami. Begitu mestinya kan? dan logikanya, kalau buruh tidak sejahtera, tidak