Skip to main content

Buruh 3

Akhirnya teman-teman pekerja itu mengetahui Para juragannya amat sangat sibuk untuk menyediakan waktu menatar buruh-buruhnya: untuk itu, saya menyarankan agar mereka membuat aktivitas drama".
Maksud saya, daripada kalau nganggur-nganggur hanya diisi dengan joget dangdut atau ngramal buntutan, mungkin bisa mendaya -gunakan proses teater untuk menatar diri mereka sendiri. Bisa kumpul-kumpul di Balai RK atau di asrama atau tempat kost mereka. Tidak intuk membuat sandiwara seperti Rendra yang besar-besar, melainkan sekadar untuk proses penataran diri. Ini perlu karena proyek penataran pemerintah tidak bisa menjangkau semua lapisan masyarakat. Jadi kaum buruh harus tahu bagaimana menatar diri mereka sendiri.
Apa yang penting dalam drama itu bukan pementasannya, melainkan proses pembuatannya. Misalnya dalam menentukan lakon, mereka bisa mendiskusikannya, menggali dari pengalaman-pengalaman sebagai buruh.

Mereka menginventarisasi, menganalisis, mendiskusikan dan menentukan artikulasinya.
Drama itu tak memerlukan naskah sampai tahap skenario, melainkan cukup sinopsis atau paling. jauh treatment saja. Para aktor tak usah disediakan kalimat-kalimat, kata perkata, sebab mereka cukup berimprovisasi saja, sepanjang sudah menyepakati batas-batas dan konteks setiap adegan.
Jadi, sesudah pokok temanya ditentukan, tokoh-tokohnya dipilih, penahapan eksposisi, konflik dan solusinya diputuskan, maka dituliskanlah treatment: adegan ini siapa yang tampil, apa yang dibicarakan, seberapa takaran unsur-unsurnya, dan seterusnya. Nanti segala sesuatunya digarap sambil berja!an. Latihan akan dijalankan oleh seorang koordinator, tapi kerja penyutradaraan sesungguhaya dijalankan oleh semua.
Ini jelas teater distribusi alias teater demokrasi. Tidak bergantung dan berpusat pada satu pimpinan sentral.

Ini mernenuhi aspirasi dan idiologi kesenian komunitas: semua berperan untuk semua. Demikianlah hakikat dan realitas teater rakyat. Dan mestinya demikianlah pula yang disebut teater Pancasila, yang bukan hanya sangat mengutamakan dan menggali muatan dari sumber nilai keadilan, kesejanteraan bersama, namun juga melandasi seluruhnya pada nilai kemanusiaan dan religiusitas ke-Tuhanan.
Terserah bagaimana alur dan progresi, bahkan juga suspensi, yang hendak diciptakan. "Tapi yang penting," kata salah seorang dari mereka, sesudah menyetujui dan langsung merancang-rancang, "realitas pengalaman sebagian kaum buruh yang masih mengalami ketertindasan diungkapkan di dalamnya. Juga aspirasi dan sikap mereka terhadap realitas itu:"
Dirumuskan oleh mereka, misalnya, sejumlah alasan riel kenapa pada suatu hari mereka terpaksa mogok.

Ada staf personalia yang tidak rnelaksanakan undang-undang perburuhan sebagaimana mestinya.
Ada ketua serikat pekerja yang dinilai terlalu memihak kepada kepentingan perusahaan, padahal posisi perusahaan cenderung mengisap buruh.
Juga belum dipenuhinya hak bagi buruh yang memenuhi syarat untuk menerima asuransi tenaga kerja.

Kurang ada upaya untuk memperbaiki fasilitas kesehatan buruh. Kelebihan jam kerja yang belum dibayar.

Atau juga ketentuan kerja buruh yang belum dirumuskan, dan menuntut kelayakan dan hak buruh untuk ikut menegosiasikan ketentuan tersebut. Dipertanyakan juga kenapa perusahaan cenderung melecehkan masalah-masalah seperti besarnya uang transportasi, uang makan, Astek, dan terukama hak-hak perempuan (misalnya: cuti haid, cuti hamil, bahkan di Malaysia ada juga cuti cemas--- dan lain sebagainya.
Para buruh melakukan pemogokan, sebagai satu-satunya instrumen politik dan bahasa profesional yang mereka miliki. Dan yang merupakan puncak suspensi dramatikanya adalah tindak penangkapan, tekanan psikologis-politis dan kekerasan fisik oknum keamanan tertentu terhadap tiga orang buruh yang dianggap mewakili keseluruhannya.
Substansi adegan ini bukan sekadar segi negatif dari violence approach, tapi juga tradisi kalangan sekuriti untuk cenderung lebih melakukan pemihakan terhadap pemilik modal. Sebaiknya dipaparkan juga persfektif filosofis dari adegan itu: betapa ekonomisasi, industrialisasi, profesionaiisasi dan komoditisasi, mencerminkan syirik umat manusia dalam menyumbang materialisme.
Ending lakon ini adalah imbauan keras kepada Departemen Tenaga Kerja agar turun tangan menyelesaikan korslueting antara kepentingan subjektif perusahaan dengan hak-hak wajar kaum buruh. Mempertanyakan kenapa Pancasila dengan gampang dilanggar melalui ikut campumya oknum keamanan secara berlebihan tanpa memperdulikan rasionalitas kasus secara jernih dan adil.
"Permasalah kita sekarang," saya menanggapi, "apakah pementasan semacam ini akan tidak dianggap mengganggu stabilitas dan ketenteraman masyarakat umum? Dan apakah itu tidak rawan terhadap tuduhan-tuduhan politik dan subversif?"
"Kaum buruh justru adalah rakyat yang selama ini diganggu ketenteraman hidupnya...," jawab mereka.
(Harian SURYA, Senin, 8 Februari 1993)
(Emha Ainun Nadjib/"Gelandangan Di Kamping Sendiri"/ Pustaka Pelajar/1995/PadhangmBulanNetDok)

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

Buruh 2

Para juragan di perusahaan bisa menatar para buruh -sesudah menatar diri mereka sendiri bahwa perburuhan Pancasila, misalnya, adalah kesejahteraan kolektif pada semua yang terlibat dalam suatu lembaga ekonomi. Suatu akhlak yang memperhatikan kepentingan bersama, tidak ada yang menghisap, tidak ada yang dihisap, tidak ada yang mengeksploitasi dan tidak ada yang dieksploitasi. Tidak harus berdiri sama tinggi duduk sama rendah, sebab tempat kedudukan direktur dengan tukang sapu mernang berlainan sesuai dengan struktur pembagian kerja. Namun setidaknya berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Kalau sudah di tatar oleh direkturnya, para buruh akan berkata: "Kami para buruh ini punya kepentingan agar perusahaan tempat kami bekerja ini bisa maju semaju-majunya! Siapa sih pekerja yang menginginkan tempat kerjanya bangkrut? Tidak ada kan? Semakin maju perusahaan tempat kerja kami, semakin sejahtera pula kehidupan kami. Begitu mestinya kan? dan logikanya, kalau buruh tidak sejahtera, tidak