Skip to main content

KISAH-KISAH KECIL DARI NEGERI KEHANGATAN [2]

                                Bangsa saya sangat pendendam, sekaligus sangat
                                pemaaf. Terdapat jenis kejahatan yang khas di
                                kandungan hati bangsa saya, tapi mereka berbudi
                                mulia. Ada semacam keangkuhan yang sangat
                                egoistik, tapi jangan lupa mereka juga sangat
                                penuh kerendah-hatian.Tetapi sangat jelas
                                perilaku yang paling menonjol pada kehidupan
                                mereka adalah bergurau. Atau barangkali orang
                                lain menjumpai mereka sebagai bangsa pemalas.
                                Atau bangsa pelupa. Bangsa saya tidak
                                serius-serius amat menjalani hidup ini.

                                Hampir setahun sesudah turun dari kekuasaan,
                                saya mengobrol dengan Soeharto, dan salah satu
                                hasil obrolan itu adalah Soeharto menuliskan
                                sebuah Surat Pernyataan Sumpah:
                                1. Saya, Soeharto, mantan Presiden RI, bersumpah
                                kepada Tuhan dan seluruh rakyat Indonesia bahwa
                                saya tidak akan pernah menjadi Presiden lagi.
                                2. Saya, Soeharto, mantan Presiden RI, bersumpah
                                kepada Tuhan dan seluruh rakyat Indonesia bahwa
                                saya tidak akan turut campur dalam setiap proses
                                pemilihan Presiden RI.
                                3. Saya, Soeharto, mantan Presiden RI, bersumpah
                                kepada Tuhan dan seluruh rakyat Indonesia bahwa
                                saya siap diadili oleh lembaga peradilan Negara
                                untuk mempertanggungjawabkan seluruh dan setiap
                                kesalahan saya selama menjabat sebagai Presiden
                                RI.
                                4. Saya, Soeharto, mantan Presiden RI, bersumpah
                                kepada Tuhan dan seluruh rakyat Indonesia bahwa
                                saya siap mengembalikan harta rakyat yang
                                dibuktikan oleh pengadilan Negara bahwa itu
                                milik rakyat.

                                Saya mengusulkan dan menuliskan teks empat
                                sumpah itu, dan Soeharto malam itu
                                menandatanganinya sambil di antara kedua
                                bibirnya terselip rokok klobot Gudang Garam.
                                Saya pikir, karena Indonesia sedang
                                menyelenggarakan Reformasi, maka saya kutip
                                empat sumpah Soeharto itu, saya tulis di
                                beberapa media cetak, serta saya orasikan di
                                berpuluh-puluh forum publik. Ternyata tak
                                seorangpun tertarik. Pemerintah Reformasi tidak
                                tertarik. Kaum aktivis tidak tertarik. Para
                                penegak hukum, mahasiswa, semua kekuatan sosial,
                                sama sekali tidak tertarik. Sebagian rakyat
                                tampak agak tertarik, tetapi mereka tidak tahu
                                akan melakukan apa atas sesuatu yang mereka
                                tertarik. Sampai hari inipun empat sumpah itu
                                tidak menyentuh siapapun dan tidak sedikitpun
                                membantu membuka pintu bagi proses peradilan
                                atas Soeharto.

                                Sumpah itu menurut rencana awal akan diucapkan
                                oleh Soeharto di Masjid Baiturrahim komplek
                                DPR-RI Jakarta pada 21 Pebruari 1999. Kenapa di
                                Masjid? Karena tak seorang makhlukpun di
                                Indonesia percaya kepada Soeharto. Maka tinggal
                                Tuhan yang punya kemungkinan percaya kepada
                                pernyataan hambaNya dan punya kepastian untuk
                                mengampuni siapapun yang mohon ampun. Maka acara
                                itu kita sebut “Taubah Nasuha”. Kalau seorang
                                manusia meminta maaf kepada Tuhan, maka Tuhan
                                menjawab: “Sana kamu minta maaf dulu kepada
                                sesama manusia. Kalau sudah beres urusanmu
                                dengan masyarakat dan rakyatmu, baru nanti minta
                                ampun kepada-Ku”. Tetapi inisiatif itu membuat
                                para politisi dan pengamat politik menuduh saya
                                sebagai “mesin politik”nya Soeharto. “Taubah
                                Nasuha” itu dihitung sebagai cara saya untuk
                                menghindarkan Soeharto dari proses peradilan
                                hukum. Jadi karena mereka tidak bersedia
                                menerima kebaikan, maka acara yang justru saya
                                maksudkan untuk mempercepat pengadilan atas
                                Soeharto itu saya batalkan. Soeharto saya telpon
                                agar tak usah datang ke Masjid Baiturrahim,
                                bertobat di Mushalla rumah saja. Kepada wartawan
                                yang hadir sekitar dua menit saya kemukakan
                                “Acara saya batalkan, sampai saat Soeharto
                                diadili oleh hukum Negara. Mudah-mudahan apa
                                yang saya dan rakyat nanti-nantikan itu akan
                                pernah terwujud”. Dan, nothing, sampai hari ini.


                                Bangsa saya sangat pendendam, sekaligus sangat
                                pemaaf. Terdapat jenis kejahatan yang khas di
                                kandungan hati bangsa saya, tapi mereka berbudi
                                mulia. Ada semacam keangkuhan yang sangat
                                egoistik, tapi jangan lupa mereka juga sangat
                                penuh kerendah-hatian. Tetapi sangat jelas
                                perilaku yang paling menonjol pada kehidupan
                                mereka adalah bergurau. Atau barangkali orang
                                lain menjumpai mereka sebagai bangsa pemalas.
                                Atau bangsa pelupa. Bangsa saya tidak
                                serius-serius amat menjalani hidup ini.


Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

Buruh 2

Para juragan di perusahaan bisa menatar para buruh -sesudah menatar diri mereka sendiri bahwa perburuhan Pancasila, misalnya, adalah kesejahteraan kolektif pada semua yang terlibat dalam suatu lembaga ekonomi. Suatu akhlak yang memperhatikan kepentingan bersama, tidak ada yang menghisap, tidak ada yang dihisap, tidak ada yang mengeksploitasi dan tidak ada yang dieksploitasi. Tidak harus berdiri sama tinggi duduk sama rendah, sebab tempat kedudukan direktur dengan tukang sapu mernang berlainan sesuai dengan struktur pembagian kerja. Namun setidaknya berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Kalau sudah di tatar oleh direkturnya, para buruh akan berkata: "Kami para buruh ini punya kepentingan agar perusahaan tempat kami bekerja ini bisa maju semaju-majunya! Siapa sih pekerja yang menginginkan tempat kerjanya bangkrut? Tidak ada kan? Semakin maju perusahaan tempat kerja kami, semakin sejahtera pula kehidupan kami. Begitu mestinya kan? dan logikanya, kalau buruh tidak sejahtera, tidak