Bangsa saya sangat pendendam, sekaligus sangat
pemaaf. Terdapat jenis kejahatan yang khas di
kandungan hati bangsa saya, tapi mereka berbudi
mulia. Ada semacam keangkuhan yang sangat
egoistik, tapi jangan lupa mereka juga sangat
penuh kerendah-hatian.Tetapi sangat jelas
perilaku yang paling menonjol pada kehidupan
mereka adalah bergurau. Atau barangkali orang
lain menjumpai mereka sebagai bangsa pemalas.
Atau bangsa pelupa. Bangsa saya tidak
serius-serius amat menjalani hidup ini.
Hampir setahun sesudah turun dari kekuasaan,
saya mengobrol dengan Soeharto, dan salah satu
hasil obrolan itu adalah Soeharto menuliskan
sebuah Surat Pernyataan Sumpah:
1. Saya, Soeharto, mantan Presiden RI, bersumpah
kepada Tuhan dan seluruh rakyat Indonesia bahwa
saya tidak akan pernah menjadi Presiden lagi.
2. Saya, Soeharto, mantan Presiden RI, bersumpah
kepada Tuhan dan seluruh rakyat Indonesia bahwa
saya tidak akan turut campur dalam setiap proses
pemilihan Presiden RI.
3. Saya, Soeharto, mantan Presiden RI, bersumpah
kepada Tuhan dan seluruh rakyat Indonesia bahwa
saya siap diadili oleh lembaga peradilan Negara
untuk mempertanggungjawabkan seluruh dan setiap
kesalahan saya selama menjabat sebagai Presiden
RI.
4. Saya, Soeharto, mantan Presiden RI, bersumpah
kepada Tuhan dan seluruh rakyat Indonesia bahwa
saya siap mengembalikan harta rakyat yang
dibuktikan oleh pengadilan Negara bahwa itu
milik rakyat.
Saya mengusulkan dan menuliskan teks empat
sumpah itu, dan Soeharto malam itu
menandatanganinya sambil di antara kedua
bibirnya terselip rokok klobot Gudang Garam.
Saya pikir, karena Indonesia sedang
menyelenggarakan Reformasi, maka saya kutip
empat sumpah Soeharto itu, saya tulis di
beberapa media cetak, serta saya orasikan di
berpuluh-puluh forum publik. Ternyata tak
seorangpun tertarik. Pemerintah Reformasi tidak
tertarik. Kaum aktivis tidak tertarik. Para
penegak hukum, mahasiswa, semua kekuatan sosial,
sama sekali tidak tertarik. Sebagian rakyat
tampak agak tertarik, tetapi mereka tidak tahu
akan melakukan apa atas sesuatu yang mereka
tertarik. Sampai hari inipun empat sumpah itu
tidak menyentuh siapapun dan tidak sedikitpun
membantu membuka pintu bagi proses peradilan
atas Soeharto.
Sumpah itu menurut rencana awal akan diucapkan
oleh Soeharto di Masjid Baiturrahim komplek
DPR-RI Jakarta pada 21 Pebruari 1999. Kenapa di
Masjid? Karena tak seorang makhlukpun di
Indonesia percaya kepada Soeharto. Maka tinggal
Tuhan yang punya kemungkinan percaya kepada
pernyataan hambaNya dan punya kepastian untuk
mengampuni siapapun yang mohon ampun. Maka acara
itu kita sebut “Taubah Nasuha”. Kalau seorang
manusia meminta maaf kepada Tuhan, maka Tuhan
menjawab: “Sana kamu minta maaf dulu kepada
sesama manusia. Kalau sudah beres urusanmu
dengan masyarakat dan rakyatmu, baru nanti minta
ampun kepada-Ku”. Tetapi inisiatif itu membuat
para politisi dan pengamat politik menuduh saya
sebagai “mesin politik”nya Soeharto. “Taubah
Nasuha” itu dihitung sebagai cara saya untuk
menghindarkan Soeharto dari proses peradilan
hukum. Jadi karena mereka tidak bersedia
menerima kebaikan, maka acara yang justru saya
maksudkan untuk mempercepat pengadilan atas
Soeharto itu saya batalkan. Soeharto saya telpon
agar tak usah datang ke Masjid Baiturrahim,
bertobat di Mushalla rumah saja. Kepada wartawan
yang hadir sekitar dua menit saya kemukakan
“Acara saya batalkan, sampai saat Soeharto
diadili oleh hukum Negara. Mudah-mudahan apa
yang saya dan rakyat nanti-nantikan itu akan
pernah terwujud”. Dan, nothing, sampai hari ini.
Bangsa saya sangat pendendam, sekaligus sangat
pemaaf. Terdapat jenis kejahatan yang khas di
kandungan hati bangsa saya, tapi mereka berbudi
mulia. Ada semacam keangkuhan yang sangat
egoistik, tapi jangan lupa mereka juga sangat
penuh kerendah-hatian. Tetapi sangat jelas
perilaku yang paling menonjol pada kehidupan
mereka adalah bergurau. Atau barangkali orang
lain menjumpai mereka sebagai bangsa pemalas.
Atau bangsa pelupa. Bangsa saya tidak
serius-serius amat menjalani hidup ini.
pemaaf. Terdapat jenis kejahatan yang khas di
kandungan hati bangsa saya, tapi mereka berbudi
mulia. Ada semacam keangkuhan yang sangat
egoistik, tapi jangan lupa mereka juga sangat
penuh kerendah-hatian.Tetapi sangat jelas
perilaku yang paling menonjol pada kehidupan
mereka adalah bergurau. Atau barangkali orang
lain menjumpai mereka sebagai bangsa pemalas.
Atau bangsa pelupa. Bangsa saya tidak
serius-serius amat menjalani hidup ini.
Hampir setahun sesudah turun dari kekuasaan,
saya mengobrol dengan Soeharto, dan salah satu
hasil obrolan itu adalah Soeharto menuliskan
sebuah Surat Pernyataan Sumpah:
1. Saya, Soeharto, mantan Presiden RI, bersumpah
kepada Tuhan dan seluruh rakyat Indonesia bahwa
saya tidak akan pernah menjadi Presiden lagi.
2. Saya, Soeharto, mantan Presiden RI, bersumpah
kepada Tuhan dan seluruh rakyat Indonesia bahwa
saya tidak akan turut campur dalam setiap proses
pemilihan Presiden RI.
3. Saya, Soeharto, mantan Presiden RI, bersumpah
kepada Tuhan dan seluruh rakyat Indonesia bahwa
saya siap diadili oleh lembaga peradilan Negara
untuk mempertanggungjawabkan seluruh dan setiap
kesalahan saya selama menjabat sebagai Presiden
RI.
4. Saya, Soeharto, mantan Presiden RI, bersumpah
kepada Tuhan dan seluruh rakyat Indonesia bahwa
saya siap mengembalikan harta rakyat yang
dibuktikan oleh pengadilan Negara bahwa itu
milik rakyat.
Saya mengusulkan dan menuliskan teks empat
sumpah itu, dan Soeharto malam itu
menandatanganinya sambil di antara kedua
bibirnya terselip rokok klobot Gudang Garam.
Saya pikir, karena Indonesia sedang
menyelenggarakan Reformasi, maka saya kutip
empat sumpah Soeharto itu, saya tulis di
beberapa media cetak, serta saya orasikan di
berpuluh-puluh forum publik. Ternyata tak
seorangpun tertarik. Pemerintah Reformasi tidak
tertarik. Kaum aktivis tidak tertarik. Para
penegak hukum, mahasiswa, semua kekuatan sosial,
sama sekali tidak tertarik. Sebagian rakyat
tampak agak tertarik, tetapi mereka tidak tahu
akan melakukan apa atas sesuatu yang mereka
tertarik. Sampai hari inipun empat sumpah itu
tidak menyentuh siapapun dan tidak sedikitpun
membantu membuka pintu bagi proses peradilan
atas Soeharto.
Sumpah itu menurut rencana awal akan diucapkan
oleh Soeharto di Masjid Baiturrahim komplek
DPR-RI Jakarta pada 21 Pebruari 1999. Kenapa di
Masjid? Karena tak seorang makhlukpun di
Indonesia percaya kepada Soeharto. Maka tinggal
Tuhan yang punya kemungkinan percaya kepada
pernyataan hambaNya dan punya kepastian untuk
mengampuni siapapun yang mohon ampun. Maka acara
itu kita sebut “Taubah Nasuha”. Kalau seorang
manusia meminta maaf kepada Tuhan, maka Tuhan
menjawab: “Sana kamu minta maaf dulu kepada
sesama manusia. Kalau sudah beres urusanmu
dengan masyarakat dan rakyatmu, baru nanti minta
ampun kepada-Ku”. Tetapi inisiatif itu membuat
para politisi dan pengamat politik menuduh saya
sebagai “mesin politik”nya Soeharto. “Taubah
Nasuha” itu dihitung sebagai cara saya untuk
menghindarkan Soeharto dari proses peradilan
hukum. Jadi karena mereka tidak bersedia
menerima kebaikan, maka acara yang justru saya
maksudkan untuk mempercepat pengadilan atas
Soeharto itu saya batalkan. Soeharto saya telpon
agar tak usah datang ke Masjid Baiturrahim,
bertobat di Mushalla rumah saja. Kepada wartawan
yang hadir sekitar dua menit saya kemukakan
“Acara saya batalkan, sampai saat Soeharto
diadili oleh hukum Negara. Mudah-mudahan apa
yang saya dan rakyat nanti-nantikan itu akan
pernah terwujud”. Dan, nothing, sampai hari ini.
Bangsa saya sangat pendendam, sekaligus sangat
pemaaf. Terdapat jenis kejahatan yang khas di
kandungan hati bangsa saya, tapi mereka berbudi
mulia. Ada semacam keangkuhan yang sangat
egoistik, tapi jangan lupa mereka juga sangat
penuh kerendah-hatian. Tetapi sangat jelas
perilaku yang paling menonjol pada kehidupan
mereka adalah bergurau. Atau barangkali orang
lain menjumpai mereka sebagai bangsa pemalas.
Atau bangsa pelupa. Bangsa saya tidak
serius-serius amat menjalani hidup ini.
Comments