Bom-bom Hampir Meledak, Gus Dur Tidur
Menurut sumber yang saya cenderung percaya namun
saya tidak bisa memastikan kebenarannya karena
saya bukan pelakunya: sebelum dan ketika
pertemuan Soeharto dengan 9 orang itu
berlangsung, telah dipasang bom di 18 Pom Bensin
dan 16 titik Jalan Tol seputar Jakarta Pusat.
Satu lagi bom sangat besar dipasang di sudut
strategis yang kalau diledakkan maka gedung
Polda Metro Jaya akan hancur berantakan.
Jangan tanyakan kepada saya apakah jenis bomnya
TNT, C4, Dimona Micro Nuclear atau Super
Salatin. Sumber itu mengatakan alasan
dipasangnya bom adalah karena (setidaknya
sebagian kekuatan dalam tubuh TNI) tidak mau
mengambil resiko kemungkinan βvacum kekuasaanβ,
sebab hasil pertemuan di Istana Negara itu tidak
dapat diduga hasilnya. Kamera-kamera dipasang di
seluruh sudut Istana terutama di seputar tempat
pertemuan. Teve-teve monitor dipasang dalam
sebuah Tank yang di dalamnya terdapat tiga
orang: seorang Mayor Jendral, pengendali Tank
dan seorang pawang bom yang memegang remooth.
Knop akan ditekan dan bom meledak apabila
terjadi satu di antara tiga kemungkinan.
1. Soeharto kebingungan sampai pingsan.
2. Soeharto tidak berbicara lebih dari dua
menit.
3. Soeharto memberi kode peledakan.
Jika bom diledakkan maka seluruh wilayah pusat
kekuasaan, maintenance dan segala perangkatnya
akan lumpuh. Negara tidak boleh satu menitpun
berjalan tanpa kepemimpinan. Akan tetapi bom-bom
itu tak pernah meledak. Pertemuan Soeharto
dengan 9 orang tua berlangsung sangat santai,
longgar dan penuh gelak tawa. Yang pertama
secara lisan mengemukakan kepada Soeharto agar
mundur adalah KH Ali Yafie, tokoh senior ormas
terbesar Nahdlatul Ulama. Yang kedua si anak
kecil, yang sempat mengajari Soeharto agar
bilang βTidak jadi Presiden tidak pathekenβ.
Yang ketiga Cak Nur. Kemudian Yusril mengatur
segala sesuatu yang menyangkut ketatanegaraan.
Jendral Wiranto beberapa kali kita panggil
seperti anak sekolah yang tidak mengerjakan PR.
Adapun Gus Dur di atas kursi roda yang dikawal
El-Zastrouw hampir tidur sepanjang pertemuan.
Sebagai pembicara terakhir Gus Dur berpidato
sangat indah: βSelama ini saya dan kebanyakan
orang menyangka bahwa Pak Harto itu monster.
Pagi ini saya lihat sendiri ternyata bukan.
Ternyata Pak Harto manusia biasa. Saya bersyukur
atas keikhlasan hati Pak Harto, dan saya sebagai
orang tua manut saja sama Cak Nur dan Cak Nunβ.
Soehartopun lengser keprabon.
Tapi bangsa saya tidak serius-serius amat
menjalani hidup ini. Mungkin mereka pemalas.
Mungkin pelupa. Soeharto Turun, MPR-DPR Bubar,
Bikin MPRS dan angkat Pejabat Kepala Negara
Bangsa saya tidak merasa perlu mengetahui apa
yang sebenarnya terjadi pada Mei 1998 itu,
terutama 19 β 21 Mei. Para ilmuwan juga tidak
berminat meneliti benar-benar. Sejarah Indonesia
tidak penting-penting amat bagi bangsa
Indonesia: asal ada pekerjaan dan bisa kasih
makan anak istri, cukuplah.
Tidaklah konstitusional bahwa Habibie menjadi
Presiden menggantikan Soeharto yang dituntut
mundur, sebab mundurnya Soeharto tidak karena
sebab sakit atau udzur atau halangan-halangan
alamiah lainnya. Maka di Istana sesudah
pertemuan itu terjadi perundingan-perundingan
yang berorientasi pada konsep bertahan sebagai
berikut:
1. Soeharto mundur.
2. MPR-DPR bubar.
3. Dibikin Komite Reformasi, yang dimaksudkan
sebagai embrio dari Majlis Permusyawaratan
Sementara.
4. MPRS mengangkat Kepala Negara Sementara (yang
ketika itu tak ada tokoh lain kecuali Dr.
H.Amien Rais.
5. Kepala Negara Sementara ditugasi oleh MPRS
menyelenggarakan Pemilu secepat-cepatnya
Berdasarkan urutan abjad, 45 orang yang digagas
menjadi anggota Komite Reformasi 1. Abdurrahman
Wahid. 2. Abdul Malik Fajar. 3. Abdul Qodir
Jaelani. 4. Adnan Buyung Nasution. 5. Adi
Sasono. 6. Affan Gaffar. 7. Ahmad Tahir. 8.
Ahmad Tirtosudiro. 9. Ahmad Bagja. 10. Akbar
Tanjung. 11. Ali Sadikin. 12. Aberi Hasibuan.
13. Aanwar Harjono. 14. Anas Urbaningrum. 15. AM
Fatwa. 16. Arbi Sanit. 17. Daniel Sparingga. 18.
Eggie R.Sudjana. 19. Emha Ainun Nadjib. 20.
Harun AlRasid. 21. Hartono Marjono. 22. Ismail
Sunny. 23. Ismail Hasan. 24. I Ktut Puja. 25.
Juwono Sudarsono. 26. Kardinal Julius
Darmaatjama SJ. 27. Kwiek Kian Gie. 28. Megawati
Sekarnoputri. 29. Muladi. 30. M. Amien Rais. 31.
Sudharmono. 32. Suhardiman. 33. Soelarso
Sopater. 34. Wiranto. 35. YB Mangunwijaya. 36.
Yusril Ihza Mahendra. 37. Rektor UI. 38. Rektor
ITB. 39. Rektor UGM. 40. Rektor UNDIP. 41.
Rektor UNAIR. 42. Rektor UNPAD. 43. Rektor
UNHAS. 44. Rektor IPB. 45. Rektor IAIN Syarif
Hidayatullah.
Lima menit menjelang pertemuan dengan Soeharto,
Cak Nur dan saya entah karena apa tiba-tiba
bersalaman dan melakukan semacam βgentleman
agreementβ bahwa sesuda Soeharto lengser kami
berdua tidak akan duduk di sebalah manapun dari
konstelasi kekuasaan. Situasi tidak mau dilihat
rakyat sebagai orang yang berpamrih kekuasaan
itulah yang membuat Cak Nur tidak bersedia
menjadi Ketua Komite Reformasi. Pada 19 Mei
siangnya Amien Rais langsung menyerang konsep
Komite Reformasi dan mengkawatirkannya sebagai
bagian dari taktik Soeharto untuk come-back. Cak
Nur tidak cukup sigap dan argumentatif untuk
mempertahankannya. Padahal di antara 45 orang
itu tidak ada Soeharto, dan yang βberwarna Orbaβ
hanya Wiranto, Sudharmono dan Akbar Tanjung.
Sampai hari ini saya tidak bisa mengerti kenapa
konsep peralihan ini dihancurkan. Dan yang lebih
tidak saya mengerti lagi adalah bahwa Akbar
Tanjung dan Wiranto ternyata bukan Orba. Akbar
Ketua DPR sampai bulan yang lalu dan Wiranto
adalah salah seorang kandidat Presiden
Reformasi.
Tapi bangsa saya memang tidak serius-serius amat
menjalani hidup ini. Mungkin mereka pemalas.
Mungkin pelupa. Reformasi Prematur dan Uang
Pensiun Sejarah terus bergulir. Komite Reformasi
ambruk, Cak Nur tak bersedia memimpinnya. 14
Menteri Soeharto melihat peluang: tgl 20 Mei
malam mereka mengundurkan diri, berganti baju
dan topeng. BJ Habibie menjadi Presiden
berikutnya. Permainan demi permainan di belakang
layar berlangsung. Tim βRegentβ berkumpul lagi
malam itu. Tempat di Jl. Indramayu 14 Menteng
Jakarta Pusat. Cak Nur tampak sangat malas,
sekitar pukul 21.30 pamit mau pulang. Saya
katakan β βCak jangan pulang dulu, besok Pak
Harto turun dan Habibie naik. Masih tersisa
sesuatu yang bisa dilakukan...β Rapat
berlangsung singkat, menelorkan 6 butir statemen
yang diistilahkan oleh Cak Nur sebagai βisian
cekβ agar Presiden baru tak mengisi seenaknya
sendiri :
1. Menyatakan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada Bapak Soeharto atas
sikap beliau yang arif bijaksana dan penuh
kebesaran jiwa memenuhi keinginan masyarakat
luas untuk berhenti sebagai Presiden RI dalam
rangka Reformasi.
2. Kami berpendapat bahwa Presiden BJ Habibie
memimpin pemerintahan transisi sampai dengan
Sidang Umum MPR baru dalam waktu 6 bulan.
3. Presiden harus segera menyusun Kabinet
Reformasi yang sepenuhnya mencerminkan
pluralitas masyarakat Indonesia, yang terdiri
dari orang-orang yang bersih dari kolusi,
korupsi, kroniisme dan nepotisme.
4. Pemerintah harus secepat mungkin melahirkan
paket UU Politik, UU Anti Monopoli, UU Anti
Korupsi, UU pers dan lain-lain sesuai dengan ide
dan aspirasi Reformasi.
5. Pemerintah harus menyelenggarakan Pemilu dan
Sidang Umum MPR dalam 6 bulan berdasarkan paket
UU Pemilu yang baru.
6. Pemerintah harus dengan sungguh-sungguh dan
secara efektif melaksanakan pemberantasan
korupsi, kolusi, kroniisme dan nepotisme.
Jakarta 21 Mei 1998 pukul 00.15 WIB Tertanda
Nurkholish Madjid, Emha Ainun Nadjib, Malik
Fajar, Utomo Dananjaya, S.Sarjad.
Sebagai junior saya harus bekerja paling keras.
Siap melakukan perumusan hasil pembicaraan
rapat, mengetiknya dengan rapi, sambil mengontak
sana-sini mengundang wartawan lokal, nasional,
internasional β dari Pos Kota sampai CNN, yang
dalam waktu kurang dari sejam sudah berkumpul di
Jl. Indramayu 14. Segera kami menyusun skedul:
Utomo Dananjaya akan memimpin acara. Malik Fajar
sebagai tuan rumah akan membuka konferensi pers.
Saya bertugas secara lisan menjelaskan tentang
situasi mutakhir di Istana dan rencana pelepasan
jabatan Soeharto nanti pagi dan dialihkan ke BJ
Habibie. Kemudian Statemen akan secara resmi
dibacakan oleh Cak Nur. Ketika kami berlima
berjalan dari ruang rapat menuju tempat
Konferensi Pers yang hanya berjarak 50 meter,
mendadak datang rombongan Amien Rais. Kami
berhalo-halo, Cak Nur berpelukan dengan Amin
kemudian melakukan pembicaraan tingkat tinggi di
halaman tempat kami berpapasan.
Kami duluan memasuki ruangan. Sekitar lima menit
kemudian Cak Nur memasuki ruangan, Utomo
siap-siap memimpin acara. Tapi tiba-tiba Cak Nur
sudah langsung berdiri membacakan statemen.
Utomo, Malik dan saya saling bersenggolan kaki.
Tapi kami berpikir: tak apalah, tidak penting
formalisme acaranya, yang penting goalnya
terjadi.
Cak Nur agak tersendat membaca statemen,
sehingga sempat re-take dua kali. Mungkin karena
lega hatinya membuat agak gugup, sehingga
setelah membacakan 6 butir pernyataan itu, Cak
Nur mengakhirinya dengan ucapan: β.....Tertanda:
Nurkholish Madjid, Amien Rais.....β
Kami berempat kaget luar biasa untuk kedua
kalinya sehingga kaki kami tak hanya saling
menyenggol, tapi saling menendang. Saya tidak
paham, sekedar tidak paham, bukan protes atau
marah. Tidak paham sampai hari ini, sampai
tatkala Cak Nur terbaring dengan wajah hitam di
Rumah Sakit Beijing dan Singapura. Saya
menuliskan hal ini di sejumlah tulisan di media,
dan puluhan kali di forum-forum publik, tapi
saya tidak menjumpai ada satu orang saja yang
agak kaget atau heran terhadap apa yang saya
kisahkan. Tapi saya paham sepenuhnya dari sisi
bahwa Bangsa saya tidak serius-serius amat
menjalani hidup ini. Mungkin mereka pemalas.
Mungkin pelupa. Malam harinya, 21 Mei 1998, kami
berkumpul lagi di Hotel Regent Kuningan Jakarta,
Saya masih membawa semangat reformasi, betapapun
kacau balaunya keadaan. Tatkala kami naik lift
menuju tempat rapat, salah seorang teman
penandatangan statemen dan yang memang sejak
awal turut membidadi perubahan-perubahan penting
di elite kekuasaan, menjawil saya. Ketika saya
memandangnya, ia menuding dadanya berulangkali
sambil berbisik di telinga saya: βHe, ini
Menteri ini....Menteri!β
Lusa saya ketahui ternyata ia salah seorang
Menterinya Habibie. Dan malam itu rapat tak
segera dimulai, hampir semua sibuk
memperbincangkan berapa jumlah uang pensiun
Menteri yang bertugas sekian tahun, atau hanya
sekian bulan...... Content itu saya sungguh
awam, sehingga belum 15 menit duduk di ruang
rapat, saya langsung berdiri dan pulang tanpa
pamit kepada mereka. Sejak malam itu saya hidup
di jalanan.***
Yogyakarta 1 November 2004.
Menurut sumber yang saya cenderung percaya namun
saya tidak bisa memastikan kebenarannya karena
saya bukan pelakunya: sebelum dan ketika
pertemuan Soeharto dengan 9 orang itu
berlangsung, telah dipasang bom di 18 Pom Bensin
dan 16 titik Jalan Tol seputar Jakarta Pusat.
Satu lagi bom sangat besar dipasang di sudut
strategis yang kalau diledakkan maka gedung
Polda Metro Jaya akan hancur berantakan.
Jangan tanyakan kepada saya apakah jenis bomnya
TNT, C4, Dimona Micro Nuclear atau Super
Salatin. Sumber itu mengatakan alasan
dipasangnya bom adalah karena (setidaknya
sebagian kekuatan dalam tubuh TNI) tidak mau
mengambil resiko kemungkinan βvacum kekuasaanβ,
sebab hasil pertemuan di Istana Negara itu tidak
dapat diduga hasilnya. Kamera-kamera dipasang di
seluruh sudut Istana terutama di seputar tempat
pertemuan. Teve-teve monitor dipasang dalam
sebuah Tank yang di dalamnya terdapat tiga
orang: seorang Mayor Jendral, pengendali Tank
dan seorang pawang bom yang memegang remooth.
Knop akan ditekan dan bom meledak apabila
terjadi satu di antara tiga kemungkinan.
1. Soeharto kebingungan sampai pingsan.
2. Soeharto tidak berbicara lebih dari dua
menit.
3. Soeharto memberi kode peledakan.
Jika bom diledakkan maka seluruh wilayah pusat
kekuasaan, maintenance dan segala perangkatnya
akan lumpuh. Negara tidak boleh satu menitpun
berjalan tanpa kepemimpinan. Akan tetapi bom-bom
itu tak pernah meledak. Pertemuan Soeharto
dengan 9 orang tua berlangsung sangat santai,
longgar dan penuh gelak tawa. Yang pertama
secara lisan mengemukakan kepada Soeharto agar
mundur adalah KH Ali Yafie, tokoh senior ormas
terbesar Nahdlatul Ulama. Yang kedua si anak
kecil, yang sempat mengajari Soeharto agar
bilang βTidak jadi Presiden tidak pathekenβ.
Yang ketiga Cak Nur. Kemudian Yusril mengatur
segala sesuatu yang menyangkut ketatanegaraan.
Jendral Wiranto beberapa kali kita panggil
seperti anak sekolah yang tidak mengerjakan PR.
Adapun Gus Dur di atas kursi roda yang dikawal
El-Zastrouw hampir tidur sepanjang pertemuan.
Sebagai pembicara terakhir Gus Dur berpidato
sangat indah: βSelama ini saya dan kebanyakan
orang menyangka bahwa Pak Harto itu monster.
Pagi ini saya lihat sendiri ternyata bukan.
Ternyata Pak Harto manusia biasa. Saya bersyukur
atas keikhlasan hati Pak Harto, dan saya sebagai
orang tua manut saja sama Cak Nur dan Cak Nunβ.
Soehartopun lengser keprabon.
Tapi bangsa saya tidak serius-serius amat
menjalani hidup ini. Mungkin mereka pemalas.
Mungkin pelupa. Soeharto Turun, MPR-DPR Bubar,
Bikin MPRS dan angkat Pejabat Kepala Negara
Bangsa saya tidak merasa perlu mengetahui apa
yang sebenarnya terjadi pada Mei 1998 itu,
terutama 19 β 21 Mei. Para ilmuwan juga tidak
berminat meneliti benar-benar. Sejarah Indonesia
tidak penting-penting amat bagi bangsa
Indonesia: asal ada pekerjaan dan bisa kasih
makan anak istri, cukuplah.
Tidaklah konstitusional bahwa Habibie menjadi
Presiden menggantikan Soeharto yang dituntut
mundur, sebab mundurnya Soeharto tidak karena
sebab sakit atau udzur atau halangan-halangan
alamiah lainnya. Maka di Istana sesudah
pertemuan itu terjadi perundingan-perundingan
yang berorientasi pada konsep bertahan sebagai
berikut:
1. Soeharto mundur.
2. MPR-DPR bubar.
3. Dibikin Komite Reformasi, yang dimaksudkan
sebagai embrio dari Majlis Permusyawaratan
Sementara.
4. MPRS mengangkat Kepala Negara Sementara (yang
ketika itu tak ada tokoh lain kecuali Dr.
H.Amien Rais.
5. Kepala Negara Sementara ditugasi oleh MPRS
menyelenggarakan Pemilu secepat-cepatnya
Berdasarkan urutan abjad, 45 orang yang digagas
menjadi anggota Komite Reformasi 1. Abdurrahman
Wahid. 2. Abdul Malik Fajar. 3. Abdul Qodir
Jaelani. 4. Adnan Buyung Nasution. 5. Adi
Sasono. 6. Affan Gaffar. 7. Ahmad Tahir. 8.
Ahmad Tirtosudiro. 9. Ahmad Bagja. 10. Akbar
Tanjung. 11. Ali Sadikin. 12. Aberi Hasibuan.
13. Aanwar Harjono. 14. Anas Urbaningrum. 15. AM
Fatwa. 16. Arbi Sanit. 17. Daniel Sparingga. 18.
Eggie R.Sudjana. 19. Emha Ainun Nadjib. 20.
Harun AlRasid. 21. Hartono Marjono. 22. Ismail
Sunny. 23. Ismail Hasan. 24. I Ktut Puja. 25.
Juwono Sudarsono. 26. Kardinal Julius
Darmaatjama SJ. 27. Kwiek Kian Gie. 28. Megawati
Sekarnoputri. 29. Muladi. 30. M. Amien Rais. 31.
Sudharmono. 32. Suhardiman. 33. Soelarso
Sopater. 34. Wiranto. 35. YB Mangunwijaya. 36.
Yusril Ihza Mahendra. 37. Rektor UI. 38. Rektor
ITB. 39. Rektor UGM. 40. Rektor UNDIP. 41.
Rektor UNAIR. 42. Rektor UNPAD. 43. Rektor
UNHAS. 44. Rektor IPB. 45. Rektor IAIN Syarif
Hidayatullah.
Lima menit menjelang pertemuan dengan Soeharto,
Cak Nur dan saya entah karena apa tiba-tiba
bersalaman dan melakukan semacam βgentleman
agreementβ bahwa sesuda Soeharto lengser kami
berdua tidak akan duduk di sebalah manapun dari
konstelasi kekuasaan. Situasi tidak mau dilihat
rakyat sebagai orang yang berpamrih kekuasaan
itulah yang membuat Cak Nur tidak bersedia
menjadi Ketua Komite Reformasi. Pada 19 Mei
siangnya Amien Rais langsung menyerang konsep
Komite Reformasi dan mengkawatirkannya sebagai
bagian dari taktik Soeharto untuk come-back. Cak
Nur tidak cukup sigap dan argumentatif untuk
mempertahankannya. Padahal di antara 45 orang
itu tidak ada Soeharto, dan yang βberwarna Orbaβ
hanya Wiranto, Sudharmono dan Akbar Tanjung.
Sampai hari ini saya tidak bisa mengerti kenapa
konsep peralihan ini dihancurkan. Dan yang lebih
tidak saya mengerti lagi adalah bahwa Akbar
Tanjung dan Wiranto ternyata bukan Orba. Akbar
Ketua DPR sampai bulan yang lalu dan Wiranto
adalah salah seorang kandidat Presiden
Reformasi.
Tapi bangsa saya memang tidak serius-serius amat
menjalani hidup ini. Mungkin mereka pemalas.
Mungkin pelupa. Reformasi Prematur dan Uang
Pensiun Sejarah terus bergulir. Komite Reformasi
ambruk, Cak Nur tak bersedia memimpinnya. 14
Menteri Soeharto melihat peluang: tgl 20 Mei
malam mereka mengundurkan diri, berganti baju
dan topeng. BJ Habibie menjadi Presiden
berikutnya. Permainan demi permainan di belakang
layar berlangsung. Tim βRegentβ berkumpul lagi
malam itu. Tempat di Jl. Indramayu 14 Menteng
Jakarta Pusat. Cak Nur tampak sangat malas,
sekitar pukul 21.30 pamit mau pulang. Saya
katakan β βCak jangan pulang dulu, besok Pak
Harto turun dan Habibie naik. Masih tersisa
sesuatu yang bisa dilakukan...β Rapat
berlangsung singkat, menelorkan 6 butir statemen
yang diistilahkan oleh Cak Nur sebagai βisian
cekβ agar Presiden baru tak mengisi seenaknya
sendiri :
1. Menyatakan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada Bapak Soeharto atas
sikap beliau yang arif bijaksana dan penuh
kebesaran jiwa memenuhi keinginan masyarakat
luas untuk berhenti sebagai Presiden RI dalam
rangka Reformasi.
2. Kami berpendapat bahwa Presiden BJ Habibie
memimpin pemerintahan transisi sampai dengan
Sidang Umum MPR baru dalam waktu 6 bulan.
3. Presiden harus segera menyusun Kabinet
Reformasi yang sepenuhnya mencerminkan
pluralitas masyarakat Indonesia, yang terdiri
dari orang-orang yang bersih dari kolusi,
korupsi, kroniisme dan nepotisme.
4. Pemerintah harus secepat mungkin melahirkan
paket UU Politik, UU Anti Monopoli, UU Anti
Korupsi, UU pers dan lain-lain sesuai dengan ide
dan aspirasi Reformasi.
5. Pemerintah harus menyelenggarakan Pemilu dan
Sidang Umum MPR dalam 6 bulan berdasarkan paket
UU Pemilu yang baru.
6. Pemerintah harus dengan sungguh-sungguh dan
secara efektif melaksanakan pemberantasan
korupsi, kolusi, kroniisme dan nepotisme.
Jakarta 21 Mei 1998 pukul 00.15 WIB Tertanda
Nurkholish Madjid, Emha Ainun Nadjib, Malik
Fajar, Utomo Dananjaya, S.Sarjad.
Sebagai junior saya harus bekerja paling keras.
Siap melakukan perumusan hasil pembicaraan
rapat, mengetiknya dengan rapi, sambil mengontak
sana-sini mengundang wartawan lokal, nasional,
internasional β dari Pos Kota sampai CNN, yang
dalam waktu kurang dari sejam sudah berkumpul di
Jl. Indramayu 14. Segera kami menyusun skedul:
Utomo Dananjaya akan memimpin acara. Malik Fajar
sebagai tuan rumah akan membuka konferensi pers.
Saya bertugas secara lisan menjelaskan tentang
situasi mutakhir di Istana dan rencana pelepasan
jabatan Soeharto nanti pagi dan dialihkan ke BJ
Habibie. Kemudian Statemen akan secara resmi
dibacakan oleh Cak Nur. Ketika kami berlima
berjalan dari ruang rapat menuju tempat
Konferensi Pers yang hanya berjarak 50 meter,
mendadak datang rombongan Amien Rais. Kami
berhalo-halo, Cak Nur berpelukan dengan Amin
kemudian melakukan pembicaraan tingkat tinggi di
halaman tempat kami berpapasan.
Kami duluan memasuki ruangan. Sekitar lima menit
kemudian Cak Nur memasuki ruangan, Utomo
siap-siap memimpin acara. Tapi tiba-tiba Cak Nur
sudah langsung berdiri membacakan statemen.
Utomo, Malik dan saya saling bersenggolan kaki.
Tapi kami berpikir: tak apalah, tidak penting
formalisme acaranya, yang penting goalnya
terjadi.
Cak Nur agak tersendat membaca statemen,
sehingga sempat re-take dua kali. Mungkin karena
lega hatinya membuat agak gugup, sehingga
setelah membacakan 6 butir pernyataan itu, Cak
Nur mengakhirinya dengan ucapan: β.....Tertanda:
Nurkholish Madjid, Amien Rais.....β
Kami berempat kaget luar biasa untuk kedua
kalinya sehingga kaki kami tak hanya saling
menyenggol, tapi saling menendang. Saya tidak
paham, sekedar tidak paham, bukan protes atau
marah. Tidak paham sampai hari ini, sampai
tatkala Cak Nur terbaring dengan wajah hitam di
Rumah Sakit Beijing dan Singapura. Saya
menuliskan hal ini di sejumlah tulisan di media,
dan puluhan kali di forum-forum publik, tapi
saya tidak menjumpai ada satu orang saja yang
agak kaget atau heran terhadap apa yang saya
kisahkan. Tapi saya paham sepenuhnya dari sisi
bahwa Bangsa saya tidak serius-serius amat
menjalani hidup ini. Mungkin mereka pemalas.
Mungkin pelupa. Malam harinya, 21 Mei 1998, kami
berkumpul lagi di Hotel Regent Kuningan Jakarta,
Saya masih membawa semangat reformasi, betapapun
kacau balaunya keadaan. Tatkala kami naik lift
menuju tempat rapat, salah seorang teman
penandatangan statemen dan yang memang sejak
awal turut membidadi perubahan-perubahan penting
di elite kekuasaan, menjawil saya. Ketika saya
memandangnya, ia menuding dadanya berulangkali
sambil berbisik di telinga saya: βHe, ini
Menteri ini....Menteri!β
Lusa saya ketahui ternyata ia salah seorang
Menterinya Habibie. Dan malam itu rapat tak
segera dimulai, hampir semua sibuk
memperbincangkan berapa jumlah uang pensiun
Menteri yang bertugas sekian tahun, atau hanya
sekian bulan...... Content itu saya sungguh
awam, sehingga belum 15 menit duduk di ruang
rapat, saya langsung berdiri dan pulang tanpa
pamit kepada mereka. Sejak malam itu saya hidup
di jalanan.***
Yogyakarta 1 November 2004.
Comments