Skip to main content

KISAH-KISAH KECIL DARI NEGERI KEHANGATAN [1]


                                sebuah catatan kultural tentang politik
                                Indonesia


                                Saya berasal dari sebuah negeri yang penuh
                                kehangatan hidup. Bakat utama bangsa saya adalah
                                bergembira dan tertawa. Kaya atau miskin, menang
                                atau kalah, mendapatkan atau kehilangan, kenyang
                                atau lapar, sehat atau sakit semuanya potensial
                                untuk membuat kami bergembira dan tertawa.

                                Bangsa Indonesia tidak memerlukan pemerintahan
                                yang baik untuk tetap bisa bergembira dan
                                tertawa. Kami tidak memerlukan perekonomian yang
                                stabil, politik yang bersih, kebudayaan yang
                                berkualitas untuk mampu bergembira dan tertawa.
                                Kami bisa menjadi gelandangan, mendirikan rumah
                                liar sangat sederhana di tepi sungai, dan kami
                                hiasi dengan pot-pot bunga serta burung
                                perkutut.

                                Bangsa kami sangat berpengalaman dijajah, juga
                                saling menjajah di antara kami. Dijajah atau
                                menjajah, kami bergembira dan tertawa. Sayang
                                sekali belum ada ilmuwan yang tertaik meneliti
                                frekwensi tertawa bangsa kami di rumah, di
                                warung, di lapangan sepakbola, di ruang
                                pertunjukan, di layar televisi, di tengah
                                kerusuhan, di gedung parlemen, di rumah ibadah,
                                di manapun saja. Ada orang terjatuh dari motor,
                                kami menuding-nudingnya sambil tertawa. Orang
                                bodoh ditertawakan. Apalagi orang pandai.

                                Kehidupan bangsa kami sangat longgar, sangat
                                permisif dan penuh kompromi. Segala sesuatu bisa
                                dan gampang diatur. Hukum sangat fleksibel.
                                Idealisme tergantung keperluan. Ideologi bisa
                                diubah kapan saja, asal menguntungkan. Kebenaran
                                harus tunduk kepada kemauan kita. Bangsa saya
                                bukan masyarakat kuno yang sombong dengan jargon
                                “membela yang benar”. Kami sudah menemukan suatu
                                formula pragmatis untuk kenikmatan hidup, yakni
                                “membela yang bayar”.

                                Tuhan harus menyesuaikan aturan-aturan-Nya
                                dengan perkembangan dan kemajuan hidup kita.
                                Orang-orang yang memeluk Agama sudah sangat
                                lelah berabad-abad diancam oleh Tuhan yang maha
                                menghukumm, menyiksan, mencampakkan kita ke api
                                neraka. Tuhan yang boleh masuk ke rumah kita
                                sekarang adalah Tuhan yang penuh kasih sayang,
                                yang suka memaafkan dan memaklumi
                                kesalahan-kesalahan kita. Sebagaimana kata-kata
                                mutiara “Manusia itu tempat salah dan khilaf”.

                                Kami adalah bangsa yang sangat memegang prinsip.
                                Di dalam memilih pemimpin atau Presiden kami
                                punya beberapa tingkat kriteria:
                                1. Presiden yang baik adalah yang masih punya
                                hubungan darah dengan saya.
                                2. Kalau tidak ada hubungan darah langsung ya
                                tak masalah, asalkan presiden yang bersangkutan
                                masih ada cantolan keluarga, entah dari besan
                                atau sekedar saudara angkat.
                                3.Kalau saudara sedarah tidak, saudara dari
                                besan tidak, dan saudara angkat juga bukan,
                                baiklah, asalkan Presiden itu punya hubungan
                                baik dengan tetangga sebelah saya yang selama
                                ini senasib sekemiskinan dengan kami sekeluarga.

                                4.Kalau terpaksanya tak ada hubungan dan
                                cantolan darah, saudara angkat atau tetangga,
                                tidak masalah, asal Presiden itu berasal dari
                                kelompok, golongan atau partai politik yang saya
                                ikut di dalamnya.
                                5.kalau terpaksanya tidak sekelompok, tidak
                                segolongan dan tidak separpol, tak jadi soal
                                juga, asalkan ia melibatkan saya untuk turut
                                aktif di dalam kekuasaannya.
                                6.Umpamanya terpaksa tidak dilibatkan dalam
                                kekuasaannya, tak soal juga, asalkan ada saudara
                                atau teman saya yang dijadikan pejabat, sehingga
                                saya bisa kecipratan sedikit-sedikit.
                                7.Kalau tidak juga ada saudara atau teman saya
                                yang diangkat jadi pejabat, tidak masalah,
                                asalkan saya atau saudara saya atau teman saya
                                diberi proyek usaha ekonomi, boleh perusahaan,
                                boleh modal.
                                8. Kalau perusahaan dan modal pun tak disediakan
                                juga, tak apalah, asalkan saya dikasih pekerjaan
                                yang memadai demi penghidupan anak istri saya.
                                9. Kalau pekerjaan yang memadai tak disediakan
                                juga, ya sudahlah asal pekerjaan saja cukuplah.
                                Kalau tidak jadi Mandor, jadi kuli pun tak
                                apa-apa, asalkan keluarga saya tidak kelaparan.
                                10. Kalaupun sembilan syarat itu tak dipenuhi
                                sama sekali, ya sudahlah, tetapi saya akui dia
                                sebagai Presiden bangsa saya.

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

MOHON BERSABAR

Seri PadangBulan (98) MOHON BERSABAR ------------------------------------------------------------------------ Markas Hamas, Padangbulan, Kiai Kanjeng, Cak Nun, (tempat program-program "Shalawat, Bernyanyi, Pendidikan Politik, Jamaah Ekonomi, Silaturahmi Kebangsaan danKemanusiaan" digodog) memohon dengan sangat para pengundang di bawah ini (yang terdaftar sampai 10 Nopember 1998) bersabar menunggu giliran jawaban. Undangan acara-acara terpaksa dimohon kearifannya untuk diskedul seirama dengan effisien dan effektifnya route perjalanan acara Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng. Setiap lingkaran wilayah dirangkaikan menjadi satu putaran, agar mondar-mandirnya Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng tidak terlalu boros waktu dan tenaga. Sehari maksimal 5 (lima) acara yang diperhitungkan pembagian waktunya di suatu lingkaran wilayah yang bisa dijangkau. Yang manusiawi sepertinya cukup 3 (acara) dalam sehari. Contoh terakhir (10 Nopember 1998), acara Cak Nun/Kiai Kanjeng/Hamas di Undip, kemudian IAIN &qu