sebuah catatan kultural tentang politik
Indonesia
Saya berasal dari sebuah negeri yang penuh
kehangatan hidup. Bakat utama bangsa saya adalah
bergembira dan tertawa. Kaya atau miskin, menang
atau kalah, mendapatkan atau kehilangan, kenyang
atau lapar, sehat atau sakit semuanya potensial
untuk membuat kami bergembira dan tertawa.
Bangsa Indonesia tidak memerlukan pemerintahan
yang baik untuk tetap bisa bergembira dan
tertawa. Kami tidak memerlukan perekonomian yang
stabil, politik yang bersih, kebudayaan yang
berkualitas untuk mampu bergembira dan tertawa.
Kami bisa menjadi gelandangan, mendirikan rumah
liar sangat sederhana di tepi sungai, dan kami
hiasi dengan pot-pot bunga serta burung
perkutut.
Bangsa kami sangat berpengalaman dijajah, juga
saling menjajah di antara kami. Dijajah atau
menjajah, kami bergembira dan tertawa. Sayang
sekali belum ada ilmuwan yang tertaik meneliti
frekwensi tertawa bangsa kami di rumah, di
warung, di lapangan sepakbola, di ruang
pertunjukan, di layar televisi, di tengah
kerusuhan, di gedung parlemen, di rumah ibadah,
di manapun saja. Ada orang terjatuh dari motor,
kami menuding-nudingnya sambil tertawa. Orang
bodoh ditertawakan. Apalagi orang pandai.
Kehidupan bangsa kami sangat longgar, sangat
permisif dan penuh kompromi. Segala sesuatu bisa
dan gampang diatur. Hukum sangat fleksibel.
Idealisme tergantung keperluan. Ideologi bisa
diubah kapan saja, asal menguntungkan. Kebenaran
harus tunduk kepada kemauan kita. Bangsa saya
bukan masyarakat kuno yang sombong dengan jargon
“membela yang benar”. Kami sudah menemukan suatu
formula pragmatis untuk kenikmatan hidup, yakni
“membela yang bayar”.
Tuhan harus menyesuaikan aturan-aturan-Nya
dengan perkembangan dan kemajuan hidup kita.
Orang-orang yang memeluk Agama sudah sangat
lelah berabad-abad diancam oleh Tuhan yang maha
menghukumm, menyiksan, mencampakkan kita ke api
neraka. Tuhan yang boleh masuk ke rumah kita
sekarang adalah Tuhan yang penuh kasih sayang,
yang suka memaafkan dan memaklumi
kesalahan-kesalahan kita. Sebagaimana kata-kata
mutiara “Manusia itu tempat salah dan khilaf”.
Kami adalah bangsa yang sangat memegang prinsip.
Di dalam memilih pemimpin atau Presiden kami
punya beberapa tingkat kriteria:
1. Presiden yang baik adalah yang masih punya
hubungan darah dengan saya.
2. Kalau tidak ada hubungan darah langsung ya
tak masalah, asalkan presiden yang bersangkutan
masih ada cantolan keluarga, entah dari besan
atau sekedar saudara angkat.
3.Kalau saudara sedarah tidak, saudara dari
besan tidak, dan saudara angkat juga bukan,
baiklah, asalkan Presiden itu punya hubungan
baik dengan tetangga sebelah saya yang selama
ini senasib sekemiskinan dengan kami sekeluarga.
4.Kalau terpaksanya tak ada hubungan dan
cantolan darah, saudara angkat atau tetangga,
tidak masalah, asal Presiden itu berasal dari
kelompok, golongan atau partai politik yang saya
ikut di dalamnya.
5.kalau terpaksanya tidak sekelompok, tidak
segolongan dan tidak separpol, tak jadi soal
juga, asalkan ia melibatkan saya untuk turut
aktif di dalam kekuasaannya.
6.Umpamanya terpaksa tidak dilibatkan dalam
kekuasaannya, tak soal juga, asalkan ada saudara
atau teman saya yang dijadikan pejabat, sehingga
saya bisa kecipratan sedikit-sedikit.
7.Kalau tidak juga ada saudara atau teman saya
yang diangkat jadi pejabat, tidak masalah,
asalkan saya atau saudara saya atau teman saya
diberi proyek usaha ekonomi, boleh perusahaan,
boleh modal.
8. Kalau perusahaan dan modal pun tak disediakan
juga, tak apalah, asalkan saya dikasih pekerjaan
yang memadai demi penghidupan anak istri saya.
9. Kalau pekerjaan yang memadai tak disediakan
juga, ya sudahlah asal pekerjaan saja cukuplah.
Kalau tidak jadi Mandor, jadi kuli pun tak
apa-apa, asalkan keluarga saya tidak kelaparan.
10. Kalaupun sembilan syarat itu tak dipenuhi
sama sekali, ya sudahlah, tetapi saya akui dia
sebagai Presiden bangsa saya.
Comments