SBY Turun Dari Langit
Sekarang Presiden bangsa saya adalah SBY. Itu
orang turun langsung dari langit. Menjelang
Pemilu banyak kelompok aktivis menggelisahkan
dan menolak kepemimpinan militer karena
trauma-trauma sejarah. Tapi itu semata-mata
karena mereka belum tahu bahwa SBY bukan
militer. SBY yang Presiden sekarang ini tidaklah
sama dengan SBY produk kekuasaan militer
Soeharto, yang dulu menjadi Komandan Korem di
Yogya di era kekuasaan Soeharto. Tidaklah sama
dengan yang dulu selama menjadi Menteri
Pertambangan tidak pernah menanda-tangani satu
Surat Keputusanpun.
SBY yang Presiden RI ini bukanlah SBY yang dulu
ikut terlibat Penyerbuan kantor PDIP, yang
menyetujui ekstradisi warganegara AS ke AS
apabila mereka melakukan kesalahan di Indonesia,
yang berpikiran sebaiknya masalah Aceh
diserahkan kepada PBB. Atau yang selama ini
dirumorkan tentang istri di Malang atau skandal
di Mest Point. SBY Presiden RI ini bukanlah itu
semua. SBY yang Presiden RI sekarang ini adalah
Matahari Harapan. Adalah dewa mempesona yang
diturunkan oleh Tuhan langsung dari langit.
Adalah “Satria Piningit” yang kini keluar dari
pingitannya. Mungkin juga beliau adalah semacam
Messiah, Ratu Adil. Jika tidak, bagaimana
mungkin mendadak Partai Demokrat yang
dipimpinnya tiba-tiba begitu masyhur dan
memperoleh angka tak terduga. Bagaimana mungkin
cahaya wajahnya muncul dalam mimpi kebanyakan
rakyat sehingga ketika terbangun mereka sangat
ingin sesegera mungkin mencoblosnya di kotak
Pemilu. Hanya saja yang rakyat tak mengetahui
adalah bahwa SBY ini seorang manusia yang sangat
baik hati dan seorang negarawan yang sikap
demokratisnya melimpah ruah.
Pengumuman Kabinet Indonesia Bersatu yang
dipimpinnya terpaksa ditunda tiga kali, mestinya
pukul 08.00 pagi baru terlaksana pukul 23.00
hampir tengah malam. Itu semua tak lain karena
SBY membutuhkan waktu tidak sedikit untuk
memproses pengayoman dan sikap demokratisasi.
Demokrat sejati adalah pemimpin yang meletakkan
dirinya sendiri pada urutan nomer sesudah semua
yang lain. SBY menginginkan jumlah Menterinya
32, sesuai dengan tahun berkuasanya Soeharto.
Tapi Wakil beliau menghendaki 34, sehingga dan
Departemen yang dibelah dan ditambah satu
Kementerian yang lucu. Dalam waktu kurang dari
12 jam, draft Menteri-menteri kabinetnya berubah
hampir total. Bahkan Kementerian terpenting yang
seharusnya ia pegang penuh – Keuangan,
Perisdustrian, Perdagangan, Sekretariat Negara :
SBY melepaskan pilihannya demi pembuktian watak
demokrasinya.
Untuk pertama kalinya elite pemerintahan RI
menjalani suatu preseden baru: SBY Kepala
Negara, Wakil Presiden de facto menjadi Kepala
pemerintahan dengan fungsi semacam Perdana
Menteri, yang mengkoordinir seluruh Menteri,
sementara Mensesneg menjadi Waperdamnya. Mereka
berdua yang berperan menentukan siapa-siapa
menjadi Menteri. SBY mengalah. Karena beliau
orang Jawa, mengenal benar falsafah “Ngalah kuwi
dhuwur wekasane”. Beda dengan Perdana Menteri
dan Wakilnya yang orang Sulawesi dan Sumatra.
Kebesaran jiwa SBY meneteskan airmata. Pendapat
umum mengatakan bahwa karakter utama SBY adalah
tidak berani mengambil keputusan. Yang benar
adalah beliau berhati luas, bersedia membuang
kepentingan dan pendapatnya sendiri,
mempersilahkan yang lain mengambil keputusan.
Bahkan hal yang menyangkut mutasi pejabat tinggi
TNI, SBY sangat mengalah. Rancangan beliau
ditentang oleh Parlemen dan kalangan elite
militer sendiri. Perwira tinggi yang
dicalonkannya menjadi Kepala Staf Angkatan Darat
dan Panglima Angkatan Bersenjata direlakannya
untuk tidak menjabat sesudah Pejabat Panglima
Angkatan Bersenjata mengirim utusan dua orang
Perwira untuk melakukan perundingan dengan SBY
padahal pada periode berikutnya yang
bersangkutan tak akan bisa naik ke jabatan itu,
sebab berdasarkan konstitusi baru harus
digilirkan kepada perwira non-AD. Banyak orang
salah sangka menyimpulkan “SBY tidak berani
menambah persoalan dengan mempertentangkan
Istana Kepresidenan dengan Markas Besar TNI,
sebab Menteri-menterinya sendiri sudah banyak
masalah”. Padahal sesungguhnya yang berlangsung
adalah kebesaran jiwa. SBY memang bukan penambah
masalah, karena beliau tampil sebagai Presiden
justru untuk menyelesaikan dan mengurangi
masalah.
Hari ketika teks ini saya tulis, tiga orang
sahabat SBY, yang bukan pejabat Negara, sedang
menampung airmata beliau. Mereka bertiga
sangat-sangat memprihatinkan dan mengkawatirkan
SBY akan menanggung beban yang sangat berat di
hari-hari mendatang karena sangat banyak
Menterinya yang bermasalah. Indonesia akan
segera terbangun dari tidurnya oleh keriuhan
tatkala masalah-masalah itu satu persatu
diungkap oleh media massa dan diperkarakan oleh
Parlemen maupun perangkat-perangkat hukum. Belum
lagi SBY terlanjur memberkan janji-janji besar
kepada rakyat terutama hal korupsi dan
terorisme, yang akan dibereskannya dalam jangka
waktu 100 hari. Tetapi no problem. Rakyat sudah
sangat ahli untuk tidak menagih janji.
Bangsa saya sangat pendendam, sekaligus sangat
pemaaf. Terdapat jenis kejahatan yang khas di
kandungan hati bangsa saya, tapi mereka berbudi
mulia. Ada semacam keangkuhan yang sangat
egoistik, tapi jangan lupa mereka juga sangat
penuh kerendah-hatian. Tetapi sangat jelas
perilaku yang paling menonjol pada kehidupan
mereka adalah bergurau. Atau barangkali orang
lain menjumpai mereka sebagai bangsa
pemalas.Atau bangsa pelupa. Bangsa saya tidak
serius-serius amat menjalani hidup ini.
Soeharto Jangan Sampai Tidak Masuk Neraka
Bahkan Soeharto, yang berkuasa sejak 1966 hingga
1998, adalah pusat kebencian bangsa saya,
sasaran utama cacian, disimpulkan secara umum
sebagai lambang kelaliman dan kekejaman, serta
diyakini sebagai sumber segala kesalahan dan
kesengsaraan seluruh rakyat. Kalau presiden
sesudahnya, berapapun jumlahnya, gagal
mengeluarkan negara dari berbagai krisis: yang
salah adalah Soeharto. Kalau rupiah terpuruk
terus, itu akibat dari ketololan Orba dan
keluarga Soeharto. Kalau nasib petani, buruh,
pedagang kakilima, nelayan, serta berbagai
segmen rakyat kecil lainnya tak pernah berubah
nasibnya: tidak ada lain penyebabnya adalah
Soeharto.
Kalau pencurian kayu hutan meningkat 300% mulai
era reformasi, itu karena dirintis oleh Soeharto
sejak sebelumnya. Kalau negeri tropis subur kami
semakin asyik mengimpor beras, gula dan garam:
itu semata-mata karena dismanagemen Orba. Kalau
rakyat negeri padang pasir Israel mandi dan
minum air berlimpah karena teknologi Water
Generator sementara di jakarta persediaan air
minum semakin menipis, kalau Mesir yang di tahun
1962 dikasih sejumlah biji mangga dari
Probolinggo, Jawa Timur, Indonesia, oleh
Soekarno, dan kini mengekspor mangga itu
besar-besaran ke Indonesia, Soeharto yang masuk
neraka.
Di sepanjang jalan kota-kota Indonesia dijual
‘Pepaya Thailand’, ‘Durian Bangkok’, ‘Apel
Negeri Gajah” dll padahal bebuahan itu diambil
dari kebun-kebun di dusun-dusun Indonesia
sendiri jelas masalahnya adalah karena Soeharto
selama beberapa dekade telah menghancurkan
national dignity bangsa Indonesia. Hampir semua
perusahaan-perusahaan umum milik Negara dijual
sahamnya ke luar negeri, dan asal usulnya sangat
gamblang: Soeharto dan keluarganya yang
mengajarkan hal semacam itu.
Kalau ada kucing hilang, pasti orangnya Soeharto
yang mencuri. Kalau ada lembu dan kerbau menjadi
kurus, itu karena hati mereka sedih merasakan
kediktatoran Soeharto. Kalau nyamuk menggigit
jidat seorang rakyat, itu gara-gara Soeharto.
Bagi kebanyakan hati rakyat Indonesia, Soeharto
harus masuk neraka. Jangan sampai masuk sorga.
Harus dilakukan segala daya upaya agar jangan
sampai Soeharto berproses memperbaiki dirinya.
Soeharto harus dipertahankan kedudukannya
sebagai lambang keburukan dan kejahatan. Kalau
sampai Soeharto menjadi manusia baik karena usia
tuanya, atau kalaupun sekedar memiliki sedikit
saja kebaikan itu sungguh mengecewakan hati
rakyat. Soeharto harus dipasang gambarnya
berjajar dengan Jengis Khan, Hitler, Pinochet,
Mussolini. Bangsa Indonesia perlu bekerjasama
dengan kalangan Iblis dan Setan untuk
menghalangi para Malaikat membawa petunjuk
kebaikan kepada Soeharto. Soeharto harus
digelari masyarakat sebagai Bapak Korupsi
Nasional dan Tokoh Kegelapan Nasional.
Ini justru karena bangsa Indonesia bermaksud
mempertahankan kesadaran mereka tentang
kebenaran dan kemuliaan hidup. Diperlukan
Soeharto yang gelap untuk mempertahankan cahaya
kebaikan dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Bangsa saya sangat pendendam, sekaligus sangat
pemaaf. terdapat jenis kejahatan yang khas di
kandungan hati bangsa saya, tapi mereka berbudi
mulia. Ada semacam keangkuhan yang sangat
egoistik, tapi jangan lupa mereka juga sangat
penuh kerendah-hatian. Tetapi sangat jelas
perilaku yang paling menonjol pada kehidupan
mereka adalah bergurau.Atau barangkali orang
lain menjumpai mereka sebagai bangsa pemalas.
Atau bangsa pelupa.Bangsa saya tidak
serius-serius amat menjalani hidup ini.
Sweet Rom Hotel Cipinang dan Anak Kecil
Tetapi Soeharto tidak pernah mendapatkan akibat
hukum apapun atas kesalahan-kesalahannya yang
tak terhitung oleh angka. Ia hidup aman tenteram
sampai siang hari ini. Sahamnya dan saham
keluarganya aman di sebagai bidang usaha.
Putra-putrinya rajin belanja ke luar negeri.
Putra bungsunya yang dipenjara di sebuah pulau
pengasingan bisa pulang ke Jakarta kapan saja.
Pada suatu siang seusai berworkshop dengan
ribuan narapidana LP Cipinang mendadak saya
pingsan, dan tatkala terbangun saya menjumpai
diri saya terbaring di kasur sangat nyaman,
berada di kamar yang sejuk, yang indah dengan
perabot-perabot mewah melebihi perlengkapan
sweet-room hotel berbintang tertinggi – itu
adalah kamar putra bungsu Soeharto. Saya kagum
pada kegantengan wajahnya. Di balik kulit
putih-kuningnya pasti mengalir darah Raja-Raja
dunia. Tubuhnya memiliki suatu kelas sehingga
penyakit yang menimpanya tentulah
penyakit-penyakit elite: jantung, lever,
paru-paru, over-kolestrol, atau epilepsi –
seperti Julius Caesar. Berbeda dengan tubuh saya
yang hanya didatangi sakit gatal, diare, pucat
kurang gizi. Ingatnya Bapaknya, Soeharto, yang
juga ganteng aristokratik.
Tgl 11 Mei 1998 saya wiridan dengan massa Padang
Bulan, 12 Mei penembakan mahasiswa Trisakti, 13
dan 14 Mei kerusuhan di Jakarta, 15 Mei
diteruskan di Solo. Tgl 16 Mei 1998 di Hotel
Regent Kuningan Jakarta Cak Nurkhalish Madjid
dan teman-teman melakukan perundingan untuk
merumuskan Surat Saran agar Soeharto
mengundurkan diri dari jabatannya sebagai
Presiden. Sebagai junior saya kagum pada diri
saya sendiri mengingat-ingat bagaimana malam itu
saya bisa berada di antara para tokoh nasional
yang hendak melakukan revolusi gagasan.
Mungkin saya pas nyapu di Hotel dan terlihat
oleh Cak Nur yang kemudian memanggil saya
sebagai bentuk solidaritas kolusial sesama orang
Jombang. Kami merumuskan tulisan berjudul
“Husnul Khotimah”, saran agar Soeharto turun
gelanggang. Besok sorenya, 17 Mei 1998 teks itu
dikonferensi-perskan di Hotel Wisata. Saya
bertugas membaca doa terakhir – saya ingat Ekky
Syahrudin nangisnya sesenggukan tak ketulungan
kerasnya. 18 Mei 1998 saran disampaikan resmi
melalui Saadillah Mursyid Mensesneg. Menjelang
maghrib disampaikan dengan lugu oleh Mensesneg
(itu sukar dibayangkan terjadi jika Mursyid
orang Jawa).
Sesudah Isya Soeharto ternyata setuju untuk
mundur. Cak Nur ditelpon: Soeharto bersedia
turun dari jabatannya tapi minta ditemani oleh
“orang-orang tua”. Diputuskan secara agak
spontan 9 (sembilan) orang: 5 penandatangan
“Husnul Khatimah” plus 4 tokoh tua yang dipilih
oleh Soeharto dan Cak Nur. 19 Mei 1998 pukul
09.00 bertemulah 9 orang itu dengan Soeharto.
Siang harinya sampai sekarang saya didendami
banyak orang dan rumah saya mau dibakar
gara-gara bertemu Soeharto pagi itu. “Mewakili
golongan apa Emha di situ?”. Bahkan beberapa
tahun kemudian, Malik Fajar, beberapa kali
Menteri Pendidikan Nasional, ditanya oleh
seorang mahasiswa bagaimana kok Emha ada bersama
9 orang itu ketemu Soeharto, Malik menjawab
enteng dengan bahasa Jawa Timur yang artinya:
“Entah anak kecil satu itu ikuuuut saja”.
Pertemuanpun berlangsung....
Tapi baik diingat kembali: Bangsa saya sangat
pendendam, sekaligus sangat pemaaf. Terdapat
jenis kejahatan yang khas di kandungan hati
bangsa saya, tapi mereka berbudi mulia. Ada
semacam keangkuhan yang sangat egoistik, tapi
jangan lupa mereka juga sangat penuh
kerendah-hatian. Tetapi sangat jelas perilaku
yang paling menonjol pada kehidupan mereka
adalah bergurau. Atau barangkali orang lain
menjumpai mereka sebagai bangsa pemalas. Atau
bangsa pelupa. Bangsa saya tidak serius-serius
amat menjalani hidup ini.
Sekarang Presiden bangsa saya adalah SBY. Itu
orang turun langsung dari langit. Menjelang
Pemilu banyak kelompok aktivis menggelisahkan
dan menolak kepemimpinan militer karena
trauma-trauma sejarah. Tapi itu semata-mata
karena mereka belum tahu bahwa SBY bukan
militer. SBY yang Presiden sekarang ini tidaklah
sama dengan SBY produk kekuasaan militer
Soeharto, yang dulu menjadi Komandan Korem di
Yogya di era kekuasaan Soeharto. Tidaklah sama
dengan yang dulu selama menjadi Menteri
Pertambangan tidak pernah menanda-tangani satu
Surat Keputusanpun.
SBY yang Presiden RI ini bukanlah SBY yang dulu
ikut terlibat Penyerbuan kantor PDIP, yang
menyetujui ekstradisi warganegara AS ke AS
apabila mereka melakukan kesalahan di Indonesia,
yang berpikiran sebaiknya masalah Aceh
diserahkan kepada PBB. Atau yang selama ini
dirumorkan tentang istri di Malang atau skandal
di Mest Point. SBY Presiden RI ini bukanlah itu
semua. SBY yang Presiden RI sekarang ini adalah
Matahari Harapan. Adalah dewa mempesona yang
diturunkan oleh Tuhan langsung dari langit.
Adalah “Satria Piningit” yang kini keluar dari
pingitannya. Mungkin juga beliau adalah semacam
Messiah, Ratu Adil. Jika tidak, bagaimana
mungkin mendadak Partai Demokrat yang
dipimpinnya tiba-tiba begitu masyhur dan
memperoleh angka tak terduga. Bagaimana mungkin
cahaya wajahnya muncul dalam mimpi kebanyakan
rakyat sehingga ketika terbangun mereka sangat
ingin sesegera mungkin mencoblosnya di kotak
Pemilu. Hanya saja yang rakyat tak mengetahui
adalah bahwa SBY ini seorang manusia yang sangat
baik hati dan seorang negarawan yang sikap
demokratisnya melimpah ruah.
Pengumuman Kabinet Indonesia Bersatu yang
dipimpinnya terpaksa ditunda tiga kali, mestinya
pukul 08.00 pagi baru terlaksana pukul 23.00
hampir tengah malam. Itu semua tak lain karena
SBY membutuhkan waktu tidak sedikit untuk
memproses pengayoman dan sikap demokratisasi.
Demokrat sejati adalah pemimpin yang meletakkan
dirinya sendiri pada urutan nomer sesudah semua
yang lain. SBY menginginkan jumlah Menterinya
32, sesuai dengan tahun berkuasanya Soeharto.
Tapi Wakil beliau menghendaki 34, sehingga dan
Departemen yang dibelah dan ditambah satu
Kementerian yang lucu. Dalam waktu kurang dari
12 jam, draft Menteri-menteri kabinetnya berubah
hampir total. Bahkan Kementerian terpenting yang
seharusnya ia pegang penuh – Keuangan,
Perisdustrian, Perdagangan, Sekretariat Negara :
SBY melepaskan pilihannya demi pembuktian watak
demokrasinya.
Untuk pertama kalinya elite pemerintahan RI
menjalani suatu preseden baru: SBY Kepala
Negara, Wakil Presiden de facto menjadi Kepala
pemerintahan dengan fungsi semacam Perdana
Menteri, yang mengkoordinir seluruh Menteri,
sementara Mensesneg menjadi Waperdamnya. Mereka
berdua yang berperan menentukan siapa-siapa
menjadi Menteri. SBY mengalah. Karena beliau
orang Jawa, mengenal benar falsafah “Ngalah kuwi
dhuwur wekasane”. Beda dengan Perdana Menteri
dan Wakilnya yang orang Sulawesi dan Sumatra.
Kebesaran jiwa SBY meneteskan airmata. Pendapat
umum mengatakan bahwa karakter utama SBY adalah
tidak berani mengambil keputusan. Yang benar
adalah beliau berhati luas, bersedia membuang
kepentingan dan pendapatnya sendiri,
mempersilahkan yang lain mengambil keputusan.
Bahkan hal yang menyangkut mutasi pejabat tinggi
TNI, SBY sangat mengalah. Rancangan beliau
ditentang oleh Parlemen dan kalangan elite
militer sendiri. Perwira tinggi yang
dicalonkannya menjadi Kepala Staf Angkatan Darat
dan Panglima Angkatan Bersenjata direlakannya
untuk tidak menjabat sesudah Pejabat Panglima
Angkatan Bersenjata mengirim utusan dua orang
Perwira untuk melakukan perundingan dengan SBY
padahal pada periode berikutnya yang
bersangkutan tak akan bisa naik ke jabatan itu,
sebab berdasarkan konstitusi baru harus
digilirkan kepada perwira non-AD. Banyak orang
salah sangka menyimpulkan “SBY tidak berani
menambah persoalan dengan mempertentangkan
Istana Kepresidenan dengan Markas Besar TNI,
sebab Menteri-menterinya sendiri sudah banyak
masalah”. Padahal sesungguhnya yang berlangsung
adalah kebesaran jiwa. SBY memang bukan penambah
masalah, karena beliau tampil sebagai Presiden
justru untuk menyelesaikan dan mengurangi
masalah.
Hari ketika teks ini saya tulis, tiga orang
sahabat SBY, yang bukan pejabat Negara, sedang
menampung airmata beliau. Mereka bertiga
sangat-sangat memprihatinkan dan mengkawatirkan
SBY akan menanggung beban yang sangat berat di
hari-hari mendatang karena sangat banyak
Menterinya yang bermasalah. Indonesia akan
segera terbangun dari tidurnya oleh keriuhan
tatkala masalah-masalah itu satu persatu
diungkap oleh media massa dan diperkarakan oleh
Parlemen maupun perangkat-perangkat hukum. Belum
lagi SBY terlanjur memberkan janji-janji besar
kepada rakyat terutama hal korupsi dan
terorisme, yang akan dibereskannya dalam jangka
waktu 100 hari. Tetapi no problem. Rakyat sudah
sangat ahli untuk tidak menagih janji.
Bangsa saya sangat pendendam, sekaligus sangat
pemaaf. Terdapat jenis kejahatan yang khas di
kandungan hati bangsa saya, tapi mereka berbudi
mulia. Ada semacam keangkuhan yang sangat
egoistik, tapi jangan lupa mereka juga sangat
penuh kerendah-hatian. Tetapi sangat jelas
perilaku yang paling menonjol pada kehidupan
mereka adalah bergurau. Atau barangkali orang
lain menjumpai mereka sebagai bangsa
pemalas.Atau bangsa pelupa. Bangsa saya tidak
serius-serius amat menjalani hidup ini.
Soeharto Jangan Sampai Tidak Masuk Neraka
Bahkan Soeharto, yang berkuasa sejak 1966 hingga
1998, adalah pusat kebencian bangsa saya,
sasaran utama cacian, disimpulkan secara umum
sebagai lambang kelaliman dan kekejaman, serta
diyakini sebagai sumber segala kesalahan dan
kesengsaraan seluruh rakyat. Kalau presiden
sesudahnya, berapapun jumlahnya, gagal
mengeluarkan negara dari berbagai krisis: yang
salah adalah Soeharto. Kalau rupiah terpuruk
terus, itu akibat dari ketololan Orba dan
keluarga Soeharto. Kalau nasib petani, buruh,
pedagang kakilima, nelayan, serta berbagai
segmen rakyat kecil lainnya tak pernah berubah
nasibnya: tidak ada lain penyebabnya adalah
Soeharto.
Kalau pencurian kayu hutan meningkat 300% mulai
era reformasi, itu karena dirintis oleh Soeharto
sejak sebelumnya. Kalau negeri tropis subur kami
semakin asyik mengimpor beras, gula dan garam:
itu semata-mata karena dismanagemen Orba. Kalau
rakyat negeri padang pasir Israel mandi dan
minum air berlimpah karena teknologi Water
Generator sementara di jakarta persediaan air
minum semakin menipis, kalau Mesir yang di tahun
1962 dikasih sejumlah biji mangga dari
Probolinggo, Jawa Timur, Indonesia, oleh
Soekarno, dan kini mengekspor mangga itu
besar-besaran ke Indonesia, Soeharto yang masuk
neraka.
Di sepanjang jalan kota-kota Indonesia dijual
‘Pepaya Thailand’, ‘Durian Bangkok’, ‘Apel
Negeri Gajah” dll padahal bebuahan itu diambil
dari kebun-kebun di dusun-dusun Indonesia
sendiri jelas masalahnya adalah karena Soeharto
selama beberapa dekade telah menghancurkan
national dignity bangsa Indonesia. Hampir semua
perusahaan-perusahaan umum milik Negara dijual
sahamnya ke luar negeri, dan asal usulnya sangat
gamblang: Soeharto dan keluarganya yang
mengajarkan hal semacam itu.
Kalau ada kucing hilang, pasti orangnya Soeharto
yang mencuri. Kalau ada lembu dan kerbau menjadi
kurus, itu karena hati mereka sedih merasakan
kediktatoran Soeharto. Kalau nyamuk menggigit
jidat seorang rakyat, itu gara-gara Soeharto.
Bagi kebanyakan hati rakyat Indonesia, Soeharto
harus masuk neraka. Jangan sampai masuk sorga.
Harus dilakukan segala daya upaya agar jangan
sampai Soeharto berproses memperbaiki dirinya.
Soeharto harus dipertahankan kedudukannya
sebagai lambang keburukan dan kejahatan. Kalau
sampai Soeharto menjadi manusia baik karena usia
tuanya, atau kalaupun sekedar memiliki sedikit
saja kebaikan itu sungguh mengecewakan hati
rakyat. Soeharto harus dipasang gambarnya
berjajar dengan Jengis Khan, Hitler, Pinochet,
Mussolini. Bangsa Indonesia perlu bekerjasama
dengan kalangan Iblis dan Setan untuk
menghalangi para Malaikat membawa petunjuk
kebaikan kepada Soeharto. Soeharto harus
digelari masyarakat sebagai Bapak Korupsi
Nasional dan Tokoh Kegelapan Nasional.
Ini justru karena bangsa Indonesia bermaksud
mempertahankan kesadaran mereka tentang
kebenaran dan kemuliaan hidup. Diperlukan
Soeharto yang gelap untuk mempertahankan cahaya
kebaikan dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Bangsa saya sangat pendendam, sekaligus sangat
pemaaf. terdapat jenis kejahatan yang khas di
kandungan hati bangsa saya, tapi mereka berbudi
mulia. Ada semacam keangkuhan yang sangat
egoistik, tapi jangan lupa mereka juga sangat
penuh kerendah-hatian. Tetapi sangat jelas
perilaku yang paling menonjol pada kehidupan
mereka adalah bergurau.Atau barangkali orang
lain menjumpai mereka sebagai bangsa pemalas.
Atau bangsa pelupa.Bangsa saya tidak
serius-serius amat menjalani hidup ini.
Sweet Rom Hotel Cipinang dan Anak Kecil
Tetapi Soeharto tidak pernah mendapatkan akibat
hukum apapun atas kesalahan-kesalahannya yang
tak terhitung oleh angka. Ia hidup aman tenteram
sampai siang hari ini. Sahamnya dan saham
keluarganya aman di sebagai bidang usaha.
Putra-putrinya rajin belanja ke luar negeri.
Putra bungsunya yang dipenjara di sebuah pulau
pengasingan bisa pulang ke Jakarta kapan saja.
Pada suatu siang seusai berworkshop dengan
ribuan narapidana LP Cipinang mendadak saya
pingsan, dan tatkala terbangun saya menjumpai
diri saya terbaring di kasur sangat nyaman,
berada di kamar yang sejuk, yang indah dengan
perabot-perabot mewah melebihi perlengkapan
sweet-room hotel berbintang tertinggi – itu
adalah kamar putra bungsu Soeharto. Saya kagum
pada kegantengan wajahnya. Di balik kulit
putih-kuningnya pasti mengalir darah Raja-Raja
dunia. Tubuhnya memiliki suatu kelas sehingga
penyakit yang menimpanya tentulah
penyakit-penyakit elite: jantung, lever,
paru-paru, over-kolestrol, atau epilepsi –
seperti Julius Caesar. Berbeda dengan tubuh saya
yang hanya didatangi sakit gatal, diare, pucat
kurang gizi. Ingatnya Bapaknya, Soeharto, yang
juga ganteng aristokratik.
Tgl 11 Mei 1998 saya wiridan dengan massa Padang
Bulan, 12 Mei penembakan mahasiswa Trisakti, 13
dan 14 Mei kerusuhan di Jakarta, 15 Mei
diteruskan di Solo. Tgl 16 Mei 1998 di Hotel
Regent Kuningan Jakarta Cak Nurkhalish Madjid
dan teman-teman melakukan perundingan untuk
merumuskan Surat Saran agar Soeharto
mengundurkan diri dari jabatannya sebagai
Presiden. Sebagai junior saya kagum pada diri
saya sendiri mengingat-ingat bagaimana malam itu
saya bisa berada di antara para tokoh nasional
yang hendak melakukan revolusi gagasan.
Mungkin saya pas nyapu di Hotel dan terlihat
oleh Cak Nur yang kemudian memanggil saya
sebagai bentuk solidaritas kolusial sesama orang
Jombang. Kami merumuskan tulisan berjudul
“Husnul Khotimah”, saran agar Soeharto turun
gelanggang. Besok sorenya, 17 Mei 1998 teks itu
dikonferensi-perskan di Hotel Wisata. Saya
bertugas membaca doa terakhir – saya ingat Ekky
Syahrudin nangisnya sesenggukan tak ketulungan
kerasnya. 18 Mei 1998 saran disampaikan resmi
melalui Saadillah Mursyid Mensesneg. Menjelang
maghrib disampaikan dengan lugu oleh Mensesneg
(itu sukar dibayangkan terjadi jika Mursyid
orang Jawa).
Sesudah Isya Soeharto ternyata setuju untuk
mundur. Cak Nur ditelpon: Soeharto bersedia
turun dari jabatannya tapi minta ditemani oleh
“orang-orang tua”. Diputuskan secara agak
spontan 9 (sembilan) orang: 5 penandatangan
“Husnul Khatimah” plus 4 tokoh tua yang dipilih
oleh Soeharto dan Cak Nur. 19 Mei 1998 pukul
09.00 bertemulah 9 orang itu dengan Soeharto.
Siang harinya sampai sekarang saya didendami
banyak orang dan rumah saya mau dibakar
gara-gara bertemu Soeharto pagi itu. “Mewakili
golongan apa Emha di situ?”. Bahkan beberapa
tahun kemudian, Malik Fajar, beberapa kali
Menteri Pendidikan Nasional, ditanya oleh
seorang mahasiswa bagaimana kok Emha ada bersama
9 orang itu ketemu Soeharto, Malik menjawab
enteng dengan bahasa Jawa Timur yang artinya:
“Entah anak kecil satu itu ikuuuut saja”.
Pertemuanpun berlangsung....
Tapi baik diingat kembali: Bangsa saya sangat
pendendam, sekaligus sangat pemaaf. Terdapat
jenis kejahatan yang khas di kandungan hati
bangsa saya, tapi mereka berbudi mulia. Ada
semacam keangkuhan yang sangat egoistik, tapi
jangan lupa mereka juga sangat penuh
kerendah-hatian. Tetapi sangat jelas perilaku
yang paling menonjol pada kehidupan mereka
adalah bergurau. Atau barangkali orang lain
menjumpai mereka sebagai bangsa pemalas. Atau
bangsa pelupa. Bangsa saya tidak serius-serius
amat menjalani hidup ini.
Comments