Skip to main content

Para Patriot (2)

Seorang pendeta di Tarus, Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang saya pernah bersendau gurau dengannya semalam-malaman, menginginkan anggotanya dalam organisasi pengembangan masyarakat ke Pulau Flores yang ditimpa bencana, untuk melihat apa-apa yang mereka bantu.
Memang ada beribu hal yang diperlukan oleh penduduk pulau malang itu dan setiap orang, setiap kelompok atau institusi, menjajaki tingkat kesanggupannya untuk menolong. Salah seorang anggota yang dikirim itu, sesudah melihat lapangan, mengajukan proposal kepada Pak Pendeta: Butuh biaya kurang lebih satu juta rupiah untuk perbaikan dua mushalla yang legrek (rusak berat) oleh gempa.
Ibarat kalau ada orang kejet-kejet ditabrak truk, segera saja Anda lari menolongnya, tak usah dulu tanya kepada korban apa agamanya, apa madzabnya, apa alirannya dan apa proposalnya. Dan Pak Pendeta ini dengan senang hati bersurat melanjutkan keperluan perbaikan tempat ibadat itu. "Tapi terus terang saya agak takut-takut inisiatif saya ini tidak didukung oleh kalangan Kristen, serta dicurigai oleh kalangan Islam," katanya.
Saya katakan kepada beliau: "Itu memang sangat pantas dicurigai. Bahkan kalau karni bersembahyang di masjid, saya terkadang juga curiga apakah orang di sebelah saya sungguh-sungguh salat kepada Allah jiwa raganya, hatinya, perasaannya, cintanya, hidup matinya. Jadi keputusan dan sikap saya adalah: teruslah, salat! Allahlah satu-satunya Hakim Maha, lembut-Tajam-Adil."
Maka imbauannya dan panggilan amal ini pun saya tulis.
***
Adik dari Poto'an Daya, Palenggaan, Pamekasan, Madura, karena situasi ekonomi keluarganya yang semakin seret, sangat khawatir akan tidak bertahan sekolah di sebuah Madrasah Tsanawiyah, apalagi untuk meneruskan kuliah kelak.
Baginya, "gantungkan cita-citamu setinggi langit" bukanlah kata-kata mutiar a, melainkan momok yang membuat hati getir. Untuk rutin membayar SPP dan membeli alat-alat serta buku-buku sekolah saja semakin hari semakin tak bisa dijamin.
Salah satu kelemahan adik kita ini adalah dalam kondisi seperti ini, ia hanya berinisiatif untuk 'meminta'.

Bukankah seandainya ada di antara pembaca yang bersedia menjadi semacam Bapak asuh, menjadi kurang 'optimistis' karena sikap mental semacam ini?
Apa yang harus ia tunjukkan ialah tekad untuk bekerja sambil sekolah, daya juang yang tak kemauan untuk membuktikan peningkatan diri, kemudian selalu bersyukur.
Hal yang sama juga terjadi pada rekannya sepulau: santri di Jaddung, Pragaan, Sumenep, Madura. Ia mengetuk pintu agar ada yang bersedia memberinya biaya yang memenuhi keperluan sekolah. "Ini terpaksa," katanya, "demi menambah pengetahuan untuk hari depan."
Tidak ada yang salah dengan ini semua. Tetapi afdhal (lebih baik) seandainya sebelum la meminta sesuatu, la menawarkan juga sesuatu kepada orang yang dimintalnya tolong. Tapi apa? Barang kerajinan barangkali?

Sesuatu yang khas Madura? Sesuatu yang la ciptakan sendiri yang khas? Atau sekurang-kurangnya tekad dan segala sesuatu yang membuat orang lain bersimpati.
(Harian SURYA, Senin 1 Maret 1993)
(Emha Ainun Nadjib/"Gelandangan Di Kamping Sendiri"/ Pustaka Pelajar/1995/PadhangmBulanNetDok)

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

Buruh 2

Para juragan di perusahaan bisa menatar para buruh -sesudah menatar diri mereka sendiri bahwa perburuhan Pancasila, misalnya, adalah kesejahteraan kolektif pada semua yang terlibat dalam suatu lembaga ekonomi. Suatu akhlak yang memperhatikan kepentingan bersama, tidak ada yang menghisap, tidak ada yang dihisap, tidak ada yang mengeksploitasi dan tidak ada yang dieksploitasi. Tidak harus berdiri sama tinggi duduk sama rendah, sebab tempat kedudukan direktur dengan tukang sapu mernang berlainan sesuai dengan struktur pembagian kerja. Namun setidaknya berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Kalau sudah di tatar oleh direkturnya, para buruh akan berkata: "Kami para buruh ini punya kepentingan agar perusahaan tempat kami bekerja ini bisa maju semaju-majunya! Siapa sih pekerja yang menginginkan tempat kerjanya bangkrut? Tidak ada kan? Semakin maju perusahaan tempat kerja kami, semakin sejahtera pula kehidupan kami. Begitu mestinya kan? dan logikanya, kalau buruh tidak sejahtera, tidak