Skip to main content

UNVERSITAS PALING JUJUR

Seminggu dua minggu ini saya banyak ketemu wartawan di berbagai kota. Mereka 'menyelenggarakan' saya untuk ngomong tentang hal-hal yang besar, umpamanya tentang
kebudayaan dunia mutakhir, kebudayaan Indonesia alternatif pokoknya sesuatu yang besar,
luas, dan gampang dikarang-karang.
Padahal saya sebenarnya lebih sreg kalau mereka bertanya tentang terminal bis, yang
seminggu dua minggu ini me:-upakan bagian amat penting dari 'proses kuliah kehidupan' yang
saya alami.
Andaikan saja mereka bertanya: Di mana inti kebudayaan dunia modern? Saya setidaknya buat
sementara -- akan mantap menjawab: Di terminal bis. Kalau saja mereka bertanya: Di mana
Anda kuliah? Saya pasti akan menjawab: Di terminal bis.
Lantas akan saya tambahi sendiri pertanyaan itu: Di mana universitas terbesar? Di mana
universitas yang paling terbuka dan paling jujur mengekspresikan dirinya?
Dan saya jawab sendiri: Di terminal bis.
Saya menyesal kenapa saat ini saya bukan seorang mahasiswa yang sedang mendapat tugas bikin paper. Tugas itu akan mendorong saya untuk menganalisis segala pengalaman terminal-terminal dengan suatu kerangka teori akademis yang tertentu dan memuarakannya pada rujukan-rujukan baku. Sebab tanpa penugasan resmi, rujukan saya 'hanya' kehidupan itu sendiri, hanya common sense atau akal sehat yang kita pelihara seperti memelihara matahari dari setiap saputan awan.
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi jon Pakir"/Mizan/1996/PadhangmBulanNetDok)

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

MOHON BERSABAR

Seri PadangBulan (98) MOHON BERSABAR ------------------------------------------------------------------------ Markas Hamas, Padangbulan, Kiai Kanjeng, Cak Nun, (tempat program-program "Shalawat, Bernyanyi, Pendidikan Politik, Jamaah Ekonomi, Silaturahmi Kebangsaan danKemanusiaan" digodog) memohon dengan sangat para pengundang di bawah ini (yang terdaftar sampai 10 Nopember 1998) bersabar menunggu giliran jawaban. Undangan acara-acara terpaksa dimohon kearifannya untuk diskedul seirama dengan effisien dan effektifnya route perjalanan acara Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng. Setiap lingkaran wilayah dirangkaikan menjadi satu putaran, agar mondar-mandirnya Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng tidak terlalu boros waktu dan tenaga. Sehari maksimal 5 (lima) acara yang diperhitungkan pembagian waktunya di suatu lingkaran wilayah yang bisa dijangkau. Yang manusiawi sepertinya cukup 3 (acara) dalam sehari. Contoh terakhir (10 Nopember 1998), acara Cak Nun/Kiai Kanjeng/Hamas di Undip, kemudian IAIN &qu