Skip to main content

Buang Sial ke Singapura

Alkisah, bersepakatlah pengusaha yang muda tiga sekawan untuk ber-weekand ke singapura. Yang satu, Tigor, berasal dari Batak, lainnya, Sutrimo, asli Jawa, lainnya lagi, Abdul, dari Madura.
Sabtu sore ngumpul di Cengkareng, langsung bareng ke Singapura, dan paginya, atau setidaknya siang harinya, balik lagi ke Jakarta. Soal apa alasan kepergian mereka kepada istri masing-masing, Ente pasti cukup profesional untuk mengarang sendiri. Terserah saja apa, tergantung bagaimana Ente sendiri biasanya mengelabuhi istri Ente.
Memang ruginya orang punya istri adalah bahwa ia punya kemungkinan untuk menyeleweng. Kalau bujangan, pasti bersih dari penyelewengan. Kalau Ente seorang suami, begitu lirikan Ente ke seorang cewek mengandung sedikit saja virus napsu, berarti Ente menyeleweng dari istri dan salah-salah bisa dituduh berzina mata oleh sebuah sekte agama.
Tapi kalau Ente bujangan, biar melirik sampai melorok, biar melilit sampai melotot: kan tidak menyeleweng namanya. Jadi, lelaki yang kawin, ia bukan saja sendang menggantikan kemerdekaan dengan penjara, tapi juga memperangkap diri dalam kans penyelewengan. Kok mau-maunya!
Tetapi apakah tiga pengusaha muda kita ini sendang merancang penyelewengan di Singapura? Wallahu' alam. Tanyakan saja langusng kepada Tuhan yang tahu persis apa isi hati mereka, sebab kalau tiga suami muda itu yang Ente tanyai, pasti tidak ngaku.
Alhasil sampailah mereka di Singapura. Singkat kata, mereka langsung cari hotel bintang tujuh. Tapi rupanya semua orang se-Asean ini sedang mengincar Singapura untuk bermalam Minggu. Sehingga di mana-mana hotel penuh. Tiga pengusaha muda kita ini hanya mendapatkan satu kamar, itu pun tingkat 63. Sudah mepet sama lapisan ozon. Dan gampang diserempet oleh lalu-lalang makhluk angkasa luar.
"Tapi kenapa susah? Untung masih dapat kamar. Toh kita tidak ke sini untuk tidur. Toh semalaman nanti kita akan cari hiburan di luar!" kata Sutrimo, mengeluarkan kebiasaan etnisnya untuk selalu merasa untung dalam situasi macam apapun.
"Ah, kau ini!" sahut Tigor. "Tingkat 63! Jauhnya itu! Lebih jauh dibanding Jakarta-Singapura, bah!"
"Lho, masih untung kita dapat kamar!"
"Masih untung! Masih untung! Kalau ban mobil kau meledak, kau bilang 'Masih untung bukan as-nya yang patah!' Kalau as mobil kau patah, Kau bilang 'Masih untung bukan tulang punggung kita yang patah!"
"Lha maunya kamu dapat kamar di tingkat berapa?" Tiba-tiba Abdul nyeletuk.
"Ya 3 kek, 4 kek, atau 5 okelah!" jawab Tigor.
"Kalau begitu kita pindahkan saja kamar kita ke tingkat yang kamu senangi."
"Sialan kau!"
"Atau tingkat 63 ini kita sepakati saja sebagai tingkat 3."
Tapi memang tak ada pilihan lain. Dan karena itu kita singkat saja cerita ini: mereka OK di tingkat 63, menaruh koper kecil mereka masing-masing, pesan makanan kecil, dan telepon sana-sini untuk berorientasi menentukan ke klab malam mana yang paling manis untuk bermalam Minggu.
Kesepakatan dicapai. Usai makan mereka langsung turun ke lobi, ambil taksi, berangkat cari restoran yang harganya jangan sampai murah, sambil nunggu waktu sebelum ke klab malam.
Kemudian segala sesuatunya ditumpahkan. Keringat diperas. Gejolak-gejolak kelelakian dihempaskan. Minum-minum. Ajojing. Ganti Hostess beberapa kali. Pokoknya segala kemungkinan kehidupan malam di tempat itu mereka habiskan dan tuntaskan.
Sehingga ketika dinihari tiba, loyo beratlah mereka. Mereka balik ke hotel dengan badan Hollyfield di ronde 10 dan 11 pertarungannya dengan Bowe. Dan tatkala tiba di hotel, badan mereka menjadi lebih parah bagaikan tubuh Razor Ruddock dihancurkan oleh Lennox Lewwis.
"Lift-nya kebetulan macet," kata Sutrimo kalem.
"Mbahmu!" sahut Tigor menjawa-jawakan diri.
"Ya, jalan kaki. 'Kit-sedikit nanti 'lak sampai!" sambung Abdul.
Mereka terdudu di dekat lift. Runding. Mereka berpendapat bahwa harus diciptakan situasi bersama agar perjalanan menuju tingkat 63 tidak terlalu melelahkan. Akhirnya sepakat: setiap orang harus bercerita, mendongeng atau apa saja, sepanjang 21 tingkat. Jadi ti orang pas 63 tingkat.
Naiklah mereka. Lemes bukan main. Kaki bagai tanpa tulang dan tidak berotot. Langkah amat berat. Tangan mereka terus berpegangan di tanganan tangga atau tembok.
Pertama giliran Sutrimo berkisah tentang pertandingan sepakbola antara kesebelasan Keraton Solo melawan Yogya. Setiap kali striker Solo berhasil membawa bola ke depan kiper Yogya, sang priyayi Ngayoja ini justru minggir, membungkuk-kan badan, sebelah tangannya memegang burung sementara tangan lainnya mempersilahkan: "Monggo Mas, dimasukkan saja bolanya, ndak usah pakewuh!"
Si striker Solo berhenti dan menjawab: "Ah, nanti saja, gampang. Kami tidak tergesa-gesa, kok."
Kejadian yang sama berlangsung ketika striker Yogya berhadapan dengan kiper Solo. Monggo-monggoan dan nanti saja nanti saja. Akhirnya pertandingan berakhir draw, sehingga diselenggarakan sarasehan di tengah lapangan, dihairi oleh ofisial kedua kesebelasan, seluruh pengurus PSSI yang hadir, plus pak RW, Danramil, Penatar P4, dan Ketua Klompencapir. Keputusannya: Juara bersama! Sesuai dengan asaa yang ada.
Sejumlah kisah yang lain dituturkan oleh Sutrimo. Kemudian memasuki tingkat 22, giliran Tigor bercerita. Misalnya tentang pidato tokoh masyarakat Batak dalam suatu upacra sangat resmi memperingati wafatnya Sisingamangaraja sang pahlawan nasional.
"Hari ini," katanya dengan penuh kekhusukan, "Kita memperingati hari wafatnya pahlawan kita Sisingamangaraja yang dibunuh oleh Belanda sialan itu...!"
"Wah, payah dia itu!" komentar Sutrimo, "Wong pidato resmi kok pakai ngumpat segala!"
Demikianlah perjalanan pendakian mereka ke tingkat 63 menjadi tak terlalu melelahkan. Letih sih, letih, tapi dengan melempar-lemparkan konsentrasi ke macam-macam hal yang lucu-lucu, kesadaran bahwa mereka sedang letih menjadi terkurangi.
Apalagi ketika di atas tingkat 43, Abdul mengisahkan tentang pengendara motor di Sampang yang marah-marah kepada polisi yang menilangnya di jalan karena melanggar dan ternyata tidak punya SIM.
Memang dia menyodorkan SIM."Tapi ini bukan SIM saudara! Nama dan fotonya lain!" kata polisi.
Naik pitamlah pengendara motor itu: "Lho Bapak ini kok neh-aneh! Lha wong yang saya pinjami SIM saja 'dak marah kok malah Bapak yang marah!"
Asyiklah mereka mendengarkan kisah-kisah Abdul. Tapi Abdul ini sendiri malah keasyikan. Mereka sudah sampai di tingkat 63, sudah berdiri di depan pintu kamar, Abdul tidak juga berhenti bercerita. Terus saja nerocos.
"Sudah, bah! Bukalah pintu! Mau tidur aku!" protes Tigor tak sabar.
"Nanti dulu," jawab Abdul, "ceritaku belum selesai..."
"Ya, cepat selesaikan saja sekarang," kata Sutrimo.
"Begini..." kata Abdul pelan, "akhir cerita saya ini sungguh-sungguh Happy Ending..."
"Bagaimana itu!" desak Tigor.
Kunci kamar kita tertinggal di mobil..."
(Folklore Madura/Progress)

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

MOHON BERSABAR

Seri PadangBulan (98) MOHON BERSABAR ------------------------------------------------------------------------ Markas Hamas, Padangbulan, Kiai Kanjeng, Cak Nun, (tempat program-program "Shalawat, Bernyanyi, Pendidikan Politik, Jamaah Ekonomi, Silaturahmi Kebangsaan danKemanusiaan" digodog) memohon dengan sangat para pengundang di bawah ini (yang terdaftar sampai 10 Nopember 1998) bersabar menunggu giliran jawaban. Undangan acara-acara terpaksa dimohon kearifannya untuk diskedul seirama dengan effisien dan effektifnya route perjalanan acara Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng. Setiap lingkaran wilayah dirangkaikan menjadi satu putaran, agar mondar-mandirnya Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng tidak terlalu boros waktu dan tenaga. Sehari maksimal 5 (lima) acara yang diperhitungkan pembagian waktunya di suatu lingkaran wilayah yang bisa dijangkau. Yang manusiawi sepertinya cukup 3 (acara) dalam sehari. Contoh terakhir (10 Nopember 1998), acara Cak Nun/Kiai Kanjeng/Hamas di Undip, kemudian IAIN &qu