Skip to main content

Sumpah Nusantara

fwd from Koran SINDO, Jum'at, 02/11/2007

SUMPAH itu terjadi karena bertemunya dua hal.Pertama,adanya sesuatu yang mungkin buruk, negatif, darurat atau apa pun, tetapi pasti ia harus ditinggalkan, dilenyapkan, dihindari, diakhiri atau diubah total.Kedua, adanya kesadaran seseorang,suatu kelompok atau suatu masyarakat tentang hal itu. Kita terjebak dalam pemakaian narkoba yang, kalau kita teruskan, goal-nya adalah kematian. Masih tersisa kesadaran tentang hal itu sehingga kita mengambil satu tindakan terhadap diri kita sendiri: bersumpah untuk mengakhiri. Tidak bisa Belanda bercokol terus menguasai kita.Sudah berpuluh generasi membiarkan dirinya lemah ditimpa hal itu, tapi kita generasi 1920-an bertekad tidak meneruskan kelemahan dan keterkuasaan itu. Maka anak-anak muda melahirkan Sumpah Pemuda 1928. Generasi muda 2007-an juga menemukan bahwa kita sama sekali tidak mungkin meneruskan kehidupan berbangsa dan bernegara yang kayak gini. Bangsa kita bangkrut total dan hampir tak tersisa apa pun untuk dijadikan modal menyelamatkan anak-anak kita generasi berikutnya. Organisasi kebangsaan kita, tata kenegaraan kita, sistem birokrasi kita, pilar-pilar konstitusi dan hukum kita,akhlak kemanusiaan kita,dan kebusukan budaya kita.Kedunguan ilmu kita, kontraproduktifnya agama kita, dan segala faktor peri-kehidupan kita, individu maupun kolektif: sudah tiba pada gerbang kehancuran yang tak terumuskan. Kita terjerembab, terseret, dan tergulung-guling sengsara di dalam dialektika kehancuran. Bukan sekadar buah simalakama yang pasif (kalau dimakan bapak mati, kalau tak dimakan ibu mati) sehingga jalan keluarnya adalah dikulum. Kita berada dalam dinamika simalakama: supaya bapak tak mati, harus tidak kita makan; semakin tidak kita makan, ibu mati; hidupnya bapak menyebabkan ibu mati, hidupnya ibu mematikan bapak.Bukan hanya keruwetan hidup yang sedang menimpa kita, merumuskan dan menyusun kalimatnya saja pun sudah simalakama sendiri. Bahkan diperparah oleh sangat rendahnya kesadaran untuk mau berubah, tipisnya kemauan untuk sungguh-sungguh mengantisipasi. Kalangan masyarakat yang di bawah bahkan sudah tidak percaya kepada kemungkinan akan adanya perubahan, sementara yang bagian atas ogah berubah karena ketidakbenaran yang sedang berlangsung ini sangat accessible bagi kepentingan, keuntungan, dan kerakusan mereka. Maka, jika pada atmosfer peringatan Hari Sumpah Pemuda 1928 bakda Ramadan ini muncul inisiatif untuk melahirkan sumpah dari kalangan generasi muda tertentu, sangat bisa dipahami.Muatan sumpah itu apa dan bagaimana, terlalu banyak kata "meminta" atau tidak, tidak akan menjadi bahan pembicaraan saya. Saya senang melihat orang bersumpah. Saya sendiri bersama sekitar 35.000 orang di Boulevard Universitas Gadjah Mada (UGM) sekitar 7 tahun silam menyelenggarakan Sumpah Nusantara, tetapi tidak laku bagi siapa pun, bahkan mungkin juga tidak benarbenar berlaku bagi mereka yang turut bersumpah. Satu koran lokal pun tak ada yang memuat, jangankan koran nasional.Meskipun acara itu riuh rendah penuh diskusi dan semangat kebangkitan sejak pukul 18.45 sampai dengan 03.00 dini hari WIB bersama puluhan ribu orang,ribuan nyamuk yang berkeliaran di seputar Kampus UGM tidak mendengar apa-apa dari Boulevard. Bumi tak mendengar, langit acuh tak acuh. Di antara sekitar 47.000 orang korban lumpur Sidoarjo atau sekitar 11.300 KK yang memberi mandat legal formal tertulis bertanda tangan hukum kepada saya untuk turut membantu pencarian solusi -kecuali sekitar 300 KK yang tidak percaya sehingga tidak memandati saya-, terdapat 4.400 KK yang tidak memiliki surat hukum untuk bukti tanah dan bangunan mereka yang tenggelam oleh lumpur.Kalau hukum diterapkan sungguh- sungguh,mustahil mereka pernah akan menerima uang dari Lapindo. Tapi Nirwan Bakrie bersedia membayar mereka yang tak punya bukti hukum asalkan bersumpah dalam panduan saya. Maka 4.400 pemilik tanah dan bangunan itu bersumpah secara bertahap,kemudian dibayar, meskipun sampai habis Idul Fitri ini masih tersisa hampir 100 berkas yang belum beres. Saya dimarahi banyak orang dan disebut "tukang menyumpah". Padahal tak ada orang bisa disumpah. Di dalam agama,tidak ada orang bisa disyahadati atau disyahadatkan oleh orang lain.Yang ada adalah seseorang menjadi muslim karena dirinya sendiri,bersumpah tentang Allah dan Muhammad. Kalau saya menyumpah atau men-syahadati orang, logikanya saya ikut menanggung salah benarnya orang yang saya sumpah. Ya saya ndak mau. Saya hanya menyaksikan mereka bersumpah tentang berapa luas tanah dan bangunannya, terserah mereka, jaminan benar salahnya terletak pada hubungan privat mereka dengan Tuhan. Diam-diam juga sebelum hati saya rela mendengar penduduk korban lumpur bersumpah, sehabis Bupati Sidoarjo berpidato, mendadak saya ambil mikrofon dari tangan Bupati, saya melangkah menuju Direktur Operasional PT Minarak Lapindo,saya rangkul, saya ajak berdiri, berjalan ke depan publik, dan di hadapan para korban lumpur saya minta si direktur untuk menyatakan kepada mereka bahwa Lapindo akan membayar sesuai dengan klaim mereka.Saya minta diucapkan sekali lagi dengan suara yang lebih lantang. Kemudian saya tanya kepada publik: "Apakah itu tadi sumpah?" Mereka serempak menjawab: "Sumpaaah!" Kemudian mereka teruskan dengan teriakan-teriakan "Allahu Akbar!" berulang-ulang. Kemudian saya ajak membaca Alfatihah bersama-sama untuk memastikan bahwa akan celaka siapa pun saja yang tidak jujur dalam urusan ini, tinggal soal waktu. Sumpah itu salah satu puncak tindakan puasa. Sumpah itu berlangsung pada seseorang ke dalam dirinya sendiri,bukan keluar.Sumpah itu tekad untuk tidak melakukan sesuatu atau tekad untuk melakukan sesuatu yang lain. Sumpah itu mengikat diri,memaksa diri untuk hanya berjalan ke situ dan tidak ke sana.Tiap hari saya bersumpah. Ke dalam diri saya sendiri. Didengar orang atau tidak,kanmereka di luar diri saya. Indonesia mau mendengar atau tidak, tidak mengurangi atau apalagi membatalkan sumpah saya kepada diri saya sendiri. Indonesia mengejek atau meremehkan, memfitnah atau membunuh saya, itu urusan mereka. Urusan saya adalah bersumpah terus kepada diri saya sendiri, untuk masalah kecil atau besar, dan untuk itu segala klausul dan kausalitasnya berada di antara Tuhan dan saya.Berakibat atau tidak kepada kiri kanan saya, kepada Indonesia,baik atau buruk, bukan sesuatu yang harus diungkapkan atau dijadikan statemen. Manusia sedikit pun tidak memiliki pengetahuan tentang apa yang akan terjadi padanya semenit sesudah sekarang.(*)
EMHA AINUN NADJIB

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

MOHON BERSABAR

Seri PadangBulan (98) MOHON BERSABAR ------------------------------------------------------------------------ Markas Hamas, Padangbulan, Kiai Kanjeng, Cak Nun, (tempat program-program "Shalawat, Bernyanyi, Pendidikan Politik, Jamaah Ekonomi, Silaturahmi Kebangsaan danKemanusiaan" digodog) memohon dengan sangat para pengundang di bawah ini (yang terdaftar sampai 10 Nopember 1998) bersabar menunggu giliran jawaban. Undangan acara-acara terpaksa dimohon kearifannya untuk diskedul seirama dengan effisien dan effektifnya route perjalanan acara Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng. Setiap lingkaran wilayah dirangkaikan menjadi satu putaran, agar mondar-mandirnya Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng tidak terlalu boros waktu dan tenaga. Sehari maksimal 5 (lima) acara yang diperhitungkan pembagian waktunya di suatu lingkaran wilayah yang bisa dijangkau. Yang manusiawi sepertinya cukup 3 (acara) dalam sehari. Contoh terakhir (10 Nopember 1998), acara Cak Nun/Kiai Kanjeng/Hamas di Undip, kemudian IAIN &qu