Dzu Walayah membawaku mengembara.Telah berulangkali kukunjungi tempat-tempat itu, namun bersamanya menjadi berubah cara berjalanku serta menjelma baru mata-pandangku.Kuajukan kepadanya beribu-ribu pertanyaan seperti Ibrahim menggalah beribu-ribu bintang, kureguk jawaban-jawabannya yang mesra bagai anak kambing menyusu putting induknya.Namun tentang satu hal, Dzu Walayah selalu menghindar, ialah tentang wihdatul wujud, Allah dengan hamba-Nya manunggal.Tatkala kami duduk-duduk istirah di tepian pantai, ia meminta - "Ambil seciduk dua ciduk air samudera untukmu, sisakan ombaknya berikan kepadaku."Ketika di malam hari aku merasa kedinginan oleh hembusan angin yang amat kencang, ia lepaskan kain sarungnya dan berkata - "Pakailah ini untuk selimutmu, tapi helai-helai benangnya biarlah untukku."Dan ketika di lapangan pojok dusun itu bersama-sama kami menyaksikan acara tayuban yang riuh rendah oleh musik, teriakan dan birahi, Dzu Walayah menggamit pundakku - "Pergilah ambil penari itu untukmu, tapi terlebih dahulu berikan kepadaku tariannya."(Emha Ainun Nadjib/PmBNetDok)
Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah...
Comments