Skip to main content

"Mengendarai" Al-Quran, Melintasi Tujuh Langit

    Naikilah kendaraan ruhani yang bernama Al-Quran.

    Engkau tiba di langit pertama dengan mendengarkan orang yang membacanya, secara langsung maupun yang terlantunkan dari rekaman masa silam dalam memorimu.

    Engkau sampai di langit kedua dengan cara membacanya dengan suaramu atau dalam diammu.

    Kemudian jika engkau membacanya dengan mulutmu sekaIigus mendengarkannya dengan telingamu, langit ketiga-lah ternpatmu. Juga tatkala engkau membacanya dalam kebisuan dan telingamu mendengarkan suara sunyi dari dalam dirimu sendiri itu.

    Dan langit keempat? Engkau mungkin mendakinya jika memulai tak sekadar membaca atau mendengarkannya, tapi juga memahaminya,

    Selapis langit lagi menyongsong langkahmu tatkala engkau menyadari bahwa pemahaman itu bergerak terus-menerus tanpa pernah berhenti. Pemahaman itu bergerak dan senantiasa bekerja, sehingga yang engkau alami kemudian bukan lagi sekadar pemahaman, melainkan pendalaman. Itulah langit kelima.

    Ada pun langit keenam, pasti engkau mengerti: engkau capai ia dengan mengamalkan, mengerjakan, mewujudkan firman-firman yang kau baca, dengarkan, pahami, dan dalami itu dalam kehidupan nyata. Tapi masih adakah lapisan langit yang lebih tinggi dari pengamalan firman?

    Itulah langit ketujuh . Langit yang engkau huni dengan menyatukan bacaan, "semakan", pemahaman, pendalaman, dan juga wujudan atas firman Al-Quran itu dalam suatu gerak keterkaitan yang terus-menerus sehingga mencapai kematangan dan kejernihan.

                                                                                ***
    Perjalanan ruhaniah menggapai tujuh langit bukanlah pengalaman jiwa asing seperti yang terkesan dari kata "mistik", "kebatinan", "tasawuf", atau apa pun.
    Itu perjalanan biasa saja, seperti halnya segala pengalaman dan peristiwa serta benda-benda yang kita libati setiap saat dalam kehidupan wajar.
    "Langit" itu idiom. Perlambang. Penjelajahan "ke atas" bukan berarti kita sedang naik ke suatu tempat nun jauh di atas sana. Penjelajahan "ke atas" bisa kita ucapkan dengan bahasa sehari-hari: meningkatkan kualitas kemanusiaan, mutu ruhani, kematangan mental atau penjernihan kepribadian.
    "Semakan", tilawah Al-Quran, tafsir dan studi Al-Quran serta pengamalannya, bisa saja kita jajarkan dengan metode dan mekanisme kependidikan kultural biasa: persekolahan, pengajian, ceramah, lokakarya, pelatihan, praktikum, atau apa pun.
    Bedanya "hanya" pada kualitas metodenya itu sendiri, serta pada kenyataan "dogmatis" bahwa membaca dan mendengarkan Al-Quran (apalagi memahami, mendalami, dan mengerjakan) memiliki nilai plus langsung dari Allah sendiri.
    Itu semacam "konsesi religius", bukan transaksi antara Tuhan dengan manusia, melainkan inisiatif kemurahan-Nya.

                                                                                ***

    Hadiah Tuhan itu oleh bahasa syariat disebut pahala. Dan sayangnya, hanya bahasa semacam itulah yang populer dalam pemahaman hidup kita.
    Orang diimbau baca Al- uran dengan iming-iming mendapat pahala. Orang "dimobilisasi" secara psikologis untuk menaati rukun agama, untuk shalat, puasa, dan lain-lain dengan argumentasi ekonomis, yakni mendapat pahala. Kita didik untuk hanya mencari laba di hadapan Allah. Seakan-akan ia adalah "Bandar".
    Pahala itu pun kita pahami secara sangat formalistik: kapling tanah di surga, sejumlah bidadari, makanan enak-enak, sungai susu, dan terpenuhinya secara langsung segala keinginan.
    Pahala amat jarang kita pahami secara kualitatif. Dalam perspektif ilmu, pahala berarti meluasnya cakrawala pengetahuan dan merekahnya ufuk makrifat. Orang melakukan sembahyang, selama ini, tanpa dimensi keilmuan, tanpa gairah memperluas cakrawala makrifat, tanpa pendalaman maknawi, tanpa kegelisahan untuk mengukur apakah jumlah shalat sepadan dengan peningkatan pencapaian langit-langit ruhani.
    Orang melakukan shalat seperti pegawai yang menandatangani buku presensi, seperti serdadu berbaris, atau seperti konsumen yang membayar kredit untuk memperoleh "komoditi" yang bernama surga. Sikap orang-orang bersembahyang terhadap Tuhan sangat kapitalistik. Sedemikian rupa 'maniak' pahala dalam arti ekonomis ini----sehingga yang mereka Tuhankan bukanlah Tuhan itu sendiri melainkan pahala atau laba.
    Dalam perspektif akidah dan tauhid, pahala ialah proses mendekatnya manusia ke rnaqam Tuhan dengan antara lain---metode "semakan" Al-Quran, memahaminya, mendalaminya, dan mengamalkannya. Orang yang banyak pahalanya dalam konteks ini identik dengan orang yang makin karib dengan Allah.
    Sebab memang yang dicari oleh jiwa manusia bukan pahala, bukan surga, bukan apa pun, melainkan Allah itu sendiri.
    Manusia, semua hamba Allah, melakukan perjalanan yang panjang dan sakit, untuk mutu kehidupannya sehingga mendekat kepada-Nya dan mengislam----ini artinya jumbuh dengan-Nya. Karena hakikat makhluk sesungguhnya adalah tiada. Hanya Allah yang sungguh-sungguh ada, sungguh-sungguh telah ada, akan ada, dan kekal ada.
    Kehidupan nyata ialah kamar mandi di rumah, dapur, pot bunga, pagar rumah, tetangga, pasar dan politik, supermarket, dan tata ekonomi internasional, apa pun.
    Bagaimana manusia menyikapi itu semua dengan metode Qurani, itulah perjalanan menembus tujuh langit yang berujung di telapak kaki-Nya.[]

Emha Ainun Nadjib
"Bernas", 1 Maret. 1991.

Dikutip dari
"Surat Kepada Kanjeng Nabi", Mizan, cet.1, 1996



Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

MOHON BERSABAR

Seri PadangBulan (98) MOHON BERSABAR ------------------------------------------------------------------------ Markas Hamas, Padangbulan, Kiai Kanjeng, Cak Nun, (tempat program-program "Shalawat, Bernyanyi, Pendidikan Politik, Jamaah Ekonomi, Silaturahmi Kebangsaan danKemanusiaan" digodog) memohon dengan sangat para pengundang di bawah ini (yang terdaftar sampai 10 Nopember 1998) bersabar menunggu giliran jawaban. Undangan acara-acara terpaksa dimohon kearifannya untuk diskedul seirama dengan effisien dan effektifnya route perjalanan acara Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng. Setiap lingkaran wilayah dirangkaikan menjadi satu putaran, agar mondar-mandirnya Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng tidak terlalu boros waktu dan tenaga. Sehari maksimal 5 (lima) acara yang diperhitungkan pembagian waktunya di suatu lingkaran wilayah yang bisa dijangkau. Yang manusiawi sepertinya cukup 3 (acara) dalam sehari. Contoh terakhir (10 Nopember 1998), acara Cak Nun/Kiai Kanjeng/Hamas di Undip, kemudian IAIN &qu