Skip to main content

Kebijaksanaan Cendol

Karena akan menerima tamu dari Thailand, maka Kiai itu merasa harus menyuguhkan Jawa. Segala yang nampak pada Pondok Pesantren yang dipimpinnya, sebenarnya relatif sudah mengekspresikan tradisional Jawa. Potret desa, model-model bangunan dan irama kehidupannya. Sang tamu besok mungkin akan mendengarkan para santri berbincang dalam bahasa Arab atau Inggris. Tapi itu bukan masalahnya. Yang penting Kiai kita ini tidak akan mungkin menyediakan Coca Cola ke depan hidung tamunya dari tanah Thai itu.

Demikianlah akhirnya sekalian santriyah yang tergabung dalam Qismul Mathbah (Departemen Dapur) bertugas memasak berbagai variasi menu Jawa. Dari sarapan grontol, makan siang nasi brongkos, malam gudeg, besoknya pecel, lalu sayur asem dengan snack lemet dan limpung.

Sang Kiai sendiri “cancut tali wondo” mempersiapkan suguhan siang hari yang diperkirakan bakal terik. Ia dengan vespa kunonya melaju, membawa semacam tempat sayur yang besar. Empat kilometer ditempuh, dan sampailah ia ke warung kecil di tepi jalan. Seorang Bapak tua penjual cendol. Sang Kiai sudah memperhitungkan waktunya untuk sampai pada bapak cendol ini pada dinihari saat jualannya. Yakni ketika stock masih melimpah.

Terjadilah dialog dalam bahasa Jawa krama-madya.

"Masih banyak, pak?"

"Masih Den, wong baru saja bukak beberan"

"Alhamdulillah, ini akan saya beli semua. Berapa?"

Pak Cendol kaget, "Lho, Jangan Den!" jawabnya spontan

Sang Kiai pun tak kalah kagetnya: "Kok jangan?"

"Lho, kalau dibeli semua, bagaimana saya bisa berjualan?"

Sang Kiai terbelalak. Hatinya mulai knocked-down, tapi belum disadarinya.

"Lho, kan saya beli semuanya, jadi bapak nggak perlu repot-repot berjualan lagi disini hari ini."

Pak Cendol tertawa dan sang Kiai makin terperangah.

"Orang jualan kan untuk dibeli. Kalau sudah laku semua kan malah beres?"

Pak Cendol makin terkekeh.

"Panjenengan ini bagaimana tho Den! Kalau dagangan saya ini dibeli semua, nanti kalau orang lainnya mau beli bagaimana! Mereka kan tidak kebagian!"

Knock-Outlah Sang Kiai.

Ia terpana. Pikirannya terguncang. Kemudian sambil tergeregap ia berkata: "Maafkan, maafkan saya pak. Baiklah sekarang bapak kasih berapa saja yang bapak mau jual kepada saya."

Seperti seorang aktor di panggung yang disoraki penonton, ia kemudian mendapatkan vespanya dan ngeloyor pulang.

Sesampainya di Pondok ia langsung memberikan cendol ke dapur dan memberi beberapa penugasan kepada santriyah, kemudian ia menuju kamar, bersujud syukur dan mengucapkan istighfar, lantas melemparkan tubuhnya di ranjang.

Alangkah dini pengalaman batinku gumannya dalam hati. Sembahyang dan latihan hidupku masih amat kurang. Aku sungguh belum apa-apa di depan orang luar biasa itu. Ia tidak silau oleh rejeki nomplok. Ia tidak ditaklukan oleh sifat kemudahan-kemudahan memperoleh uang. Ia terhindar dari sifat rakus. Ia tetap punya dharma kepada sesama manusia sebagai penjual kepada pembeli-pembelinya.

Ia bukan hanya seorang pedagang. Ia seorang manusia!
(Muhammad Ainun Nadjib/“Indonesia Bagian Dari Desa Saya”/Bentang/PadhangmBulanNetDok)

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

MOHON BERSABAR

Seri PadangBulan (98) MOHON BERSABAR ------------------------------------------------------------------------ Markas Hamas, Padangbulan, Kiai Kanjeng, Cak Nun, (tempat program-program "Shalawat, Bernyanyi, Pendidikan Politik, Jamaah Ekonomi, Silaturahmi Kebangsaan danKemanusiaan" digodog) memohon dengan sangat para pengundang di bawah ini (yang terdaftar sampai 10 Nopember 1998) bersabar menunggu giliran jawaban. Undangan acara-acara terpaksa dimohon kearifannya untuk diskedul seirama dengan effisien dan effektifnya route perjalanan acara Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng. Setiap lingkaran wilayah dirangkaikan menjadi satu putaran, agar mondar-mandirnya Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng tidak terlalu boros waktu dan tenaga. Sehari maksimal 5 (lima) acara yang diperhitungkan pembagian waktunya di suatu lingkaran wilayah yang bisa dijangkau. Yang manusiawi sepertinya cukup 3 (acara) dalam sehari. Contoh terakhir (10 Nopember 1998), acara Cak Nun/Kiai Kanjeng/Hamas di Undip, kemudian IAIN &qu