Skip to main content

Teokrasi Islam Sebagai Persoalan Ilmu dan Sebagai Persoalan Politik

Pemikiran tentang pemisahan antara Negara dengan Agama selalu dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan mengenai bagaimana menentukan batas-batas otoritas antara keduanya, serta bagaimana memproporsikan kontekstualitasnya balk pada level kehidupan pribadi dan budaya masyarakat, maupun pada level institusi dan birokrasi di mana muatan nilai-nilai itu dilegalisasikan.
Pada kenyataan kesejarahannya, setidaknya di Indonesia, kabumya konsepsi tentang batas-batas tersebut, cepat atau lambat potensial untuk menjadi kontroversi, bias, atau bahkan konflik yang sama sekali tidak bisa dianggap tidak serius. Sejauh ini, dalam realitas kenegaraan dan kemasyarakatan, kekaburan itu telah "menginventariskan" ketumpang-tindihan batas otoritas, bahkan keberlebihan klaim otoritas Negara di satu pihak dan semacam keagamaan pihak Agama di lain pihak.
Ketika KH Abdurahman Wahid melontarkan hasil persepsinya bahwa "di dalam Islam tidak ada konsep negara", pertanyaan keilmuannya adalah: Bagaimana memahami pernyataan itu dalam kerangka konsep Islam mengenai politik yang memuat fenomena seperti khilafah, daulah, juga formula-formula seperti qaryah, thayyibah atau baldah thayyibah.
Adapun pertanyaan politiknya adalah: Mengapa dari input "dalam Islam tidak ada konsep tentang negara", output yang diambil oleh Gus Dur adalah "maka kita tidak akan nendirikan negara Islam", dan bukan misalnya "maka kenapa kita menerima dan hidup dalam Negara", atau "maka pada saatnya nanti kita akan menolak Negara".
Apakah penyelenggaraan Negara Islam seperti di Iran atau yang sekarang sedang "ditawar-menawarkan" secara berdarah oleh Aijazair ("Teokrasi Islam, Republic of Allah, Kingdom of God") berada pada level (merupakan) ajaran langsung) Islam itu sendiri ataukah terletak pada tataran pemahaman, tafsir/interpretasi atas ajaran Islam. Apakah formula Negara Islam merupakan keniscayaan nilai Islam itu sendiri, ataukah merupakan salah satu kemungkinan hasil ijtihad, di sisi lain kemungkinan-kemungkinan yang telah termanifestasikan dalam sejarah maupun yang masih sebagai gagasan..
Dengan kata lain, segala realitas penyelenggaraan Negara Islam, apakah pertanggungjawabannya terletak pada Islam itu sendiri, ataukah pada penafsir, mujtahid atau interpretatornya.

Konsep Kedaulatan dalam Islam:
Pewarisannya dan Penyelenggaraannya
Berikut ini saya paparkan pemahaman saya atas konsepi Islam tentang pewaris (dari/oleh Allah) dan penyelenggaraan kedaulatan dalam masyarakat manusia.
Tentu saja ada banyak kerangka acuan formal tentang itu, meskipun dalam tulisan ini saya hanya memilih makna perlambang dari struktur sejumlah al Asmaul ul Husna

Skema Pokok Konsep Khilafah
Allah ---> Khilafah ---> Ijtihad ---> Tajribah/Amaliah

Allah: Muasal dan muara segala eksistensi, balk yang dipahami melalui kreativitas intuitif/instinktif maupun kreativitas intelektual, yang mengeksplorasikan tiga wilayah informasi dari Allah: yakni realitas alam, manusia dan firman.
Khilafah: Pemandatan, pelimpahan, perwakilan terba:as kedaulatan cinta Allah, Kasih Allah dan kepengasuhan Allah kepada manusia (bukan kepada benda, tumbuh-tumbuhan, hewan, juga bukan kepada makhluk lain seperti jin atau iblis).
Ijtihad: Proses pemahaman, penghayatan, dan penafsiran manusia terhadap pelimpahan khilafah Allah kepadanya.
Tajribah/Amaliah: Eksperimentasi, pengujian penerapan, yang sekaligus merupakan manifestasi, aktualisasi, perwujudan atau pengejawantahan,

Terminologi Bantu
Managemen Iman - Islam - Ihsan
Kualifikasi Fiqh - Akhlaq - Taqwa
Teori Sab'a atau Tujuh Langit
Asas Islam tentang La ikraha fid-din, tiadanya paksaan ialam penyelenggaraan sistem-sistem 'kedaulatan, kepengasuhan dan kasih sayang. Tingkat-tingkat benere dewe - benere wong akeh - bener kang sejati
Innama amruhu idza aroda syai-an-yaqula la-hu kun fayakun: tahap kesadaran dan pengelolaan dari landasan "amr" ke 'iradah" dengan mempedomani "qoul" , agar "kun fayakun"
Serta mungkm yang lain-lain, yang diuraiakan jika merupakan keperluan forum.

Skema Terurai
Allah sebagai Khaliq (pencipta sejati), Ilah (pemilik kelaulatan), Rabb (pengasuh, pendidik, pengelola).
Akar Fungsi atau kedudukan Allah sebagai Khaliq, Ilah maupun Rabb adalah watak-watak: 'Alimul Ghaib (mengetahui segala yang tidak diketahui), Rahman (pengasih, cinta "personal") (mengacu ke sifat Ahad), Rahim (penyayang, cinta "universal") (mengacu ke sifat Wahid).
Muatan Qudus (yang kedaulatannya legal sejati sehingga benar sejati), Salam (yang sungguh-sungguhnya nenyelamatkan, mendamaikan, mengamankan), Mu'min yang jaminanNya mutiak bisa dipercaya), Muhaimin yang janjiNya menenteramkan).
Muatan Malik (satu-satunya raja sejati), 'Aziz (segala ciptaan adalah pantulan kegagahanNya), Jabbar (keperkasaanNya), Mutakabbir (kesanggupan absolutNya untuk menguasai segala sesuatu).
Muatan Rabb: Bari' (Maha menata sistem-sistem ciptanNya), Mushawwir (Maha menggambar, melukis kendahan dan keseimbangan segala sesuatu).
Serta jalin menjalin indah antara skema pokok, skema terurai beserta muatan-muatannya.

Ijtihad Khilafah ke Tajribah/Amaliah
Padi rnenjadi beras menjadi nasi.
Dari Tafsir ke ilmu menuju ke ideologi membentuk sisemisasi dan strukturisasi
Fenomena-fenomena dinamis (dinamika ijtihad/ pencarian/kreativitas ilmu dan peradaban manusia): Daulah - Qaryah - Baldah - Negara atau formula republik, kerajaan serta model penerapan kedaulatan yang lain.

Sejumlah Proyeksi
Skema konsep khilafah di atas adalah "sumur" yang sesungguhnya bisa ditimba untuk berbagai keperluan, kepentingan sehingga penguraian maknanya bisa merupakan rakitan yang berbeda-beda sesuai dengan konteks yang diperlukan.
Untuk kebutuhan tema yang kita bicarakan dalam forum ini, barangkali beberapa proyeksi di bawah ini perlu untuk kita ketahui bersama:

Moralitas Khilafah
Allah atau apapun Ia disebut, merupakan asal muasal segala eksistensi, segala wujud, segala kedaulatan, segala kasih sayang, segala kesantunan dan kepengasuhan. Kehidupan segala makhluk secara kosmologis (dan karena itu akhirnya secara filosofis dan teologis) tidak punya kemungkinan lain kecuali mengacu kembali kepadaNya (ilaihi roji'un).
Manusia tidak sanggup dan tidak pemah menciptakan atau mengadakan dirinya sendiri. Manusia tidak pernah menyelenggarakan eksistensinya atau "perpindahannya dare tiada menuju ada". Manusia hanya effek, atau produk, atau hasil karya dari inisiatif agung Penciptanya.
Oleh karena itu adalah suatu kebenaran ilmiah bahwa manusia tidak pernah memiliki sesuatu, melainkan hanya dipinjami sesuatu, diwarisi sesuatu, dalam batas dan penjatahan yang ditentukan oiehNya.
Jika kita berbicara tentang konsep pemilikan kedaulatan atau pemilikan alarm misainya: itulah ilmu dan realitas hakikinya. Hanya Allah "Tuan Tanah Sejati", dan hakNya absolut untuk itu semua. Juga hanya Ia "Raja Sejati", dan raja-raja yang lain hanya berkedaulatan relatif dan pinjaman.
Hak dan kewajiban manusia dalam mengelola perwarisan itu disebut khilafah, yang diterapkan dalam etos ijtihad, tajribah dan atau amaliah.
Keda-ulatan atau kekuasaan atau hak kepemimpinan tidak dimandatkan oleh Allah kepada manusia secara berdiri sendiri (ilah, malik), melainkan besertaan dengan pemandatan kasih sayang, kepengasuhan dan kesantunan (rabb, rahrnan, rahim).
Adapun kekuatan, kegagahan dan keperkasaanNya ('aziz, jabbar, mutakabbir) pun dimandatkan kepada manusia dengan perimbangan sifat-sifat terpercaya, menenteramkan, mengamankan, menjamin pemenuhan janji (qudus, salam, mu'min, muhaimin).
Bahkan kepenciptaan atau kreativitas Allah dipinjamkan secara terbatas beriringan dengan kesediaan menata, memproporsikan, mengorganisasikan, mensistemisasikan, serta menyempumakannya dengan keindahan (khaliq, bari', mushawwir) (bahasa Jawanya: mamayu hayuning bhawana).
Keseluruhan proses penyelenggaraan khilafiah itu berakar pada watak 'alim-ul ghaib. Ini merupakan informasi tentang keterbatasan manusia. Merupakan dorongan untuk keajegan menc2ri ilmu. Merupakan anjuran agar berenda_h hati. Merupakan kritik atau pengingat agar para mandataris kedaulatanNya tidak terjebak oleh "tuhan dunia" yang wadag.
Akar yang lain adalah watak rahman ("cinta pribadi", kasih Allah sebagai diriNya sendiri yang "berjarak" dengan manusia: konsep ahad) dalam posisi berimbang dengan watak rahim ("cinta universal", kasih Allah dalam konteks penyatuan, kemenyatuan dan kebersatuanNya dengan manusia) (: konsepsi wahid, yakni yang ditempuh manusia melalui proses tauhid yakni mengarahkan dirinya, kenendaknya, perllaku pnbadmya, pilihan sistem nilai sosialnya, hukum kemasyarakatan dan kenegaraannya, agar menyatu, sama dan searah dengan kehendak Allah).

Aplikasi Khilafiah
Proses pelaksanaan khilafiah mungkin bisa dimetaforkan dengan tahap-tahap sebagai berikut:
Allah menciptakan tanah, manusia membuat keramik, Allah menganugerahkan padi, manusia mengolahnya menjadi beras dan nasi, Allah menciptakan alam, manusia membudayakannya, atau menjadikannya bagian dari kebudayaan dan peradaban.
Alam materi dan tumbuh-tumbuhan adalah alam pasif. Hewan adalah alam aktif tanpa kesadaran akal dan tanpa firman. Manusia adalah alam aktif dengan kesadaran akal dan dengan firman.
Materi, tumbuh-tumbuhan dan hewan memiliki "spiritualitas otomatik" dan kepatuhan natural kepada sistem nilai ciptaan Tuhan (hukum alam, sunnatullah).
Akal memungkinkan manusia menyadari spiritualitasnya, sehingga mampu mensikapi dan mensubyeki hubungan kehidupannya dengan sistem nilai Tuhan. Itulah surnber kesederajatan manusia, demokrasi politik, kemerataan ekonomi dan keindahan kebudayaan.
Namun jusfru karena itu kepatuhan materi, tumbuhtumbuhan dan hewan bersifat pasti, sedangkan kepatuhan manusia bersifat mungkin.
Dengan demildan tatkala manusia mengkhalifahi atau mengakali tiga realitas ciptaan Allah (alam semesta, manusia dan firman), yang berlangsung adalah kemungkinankernungkinan. Yaitu kemungkinan untuk benar atau untuk salah. Kemungkinan untuk baik atau untuk buruk, untuk selamat atau untuk hancur.
Juga ketika pengakalan itu tiba pada ijtihad dan tafsir ilmu, ideologi sistem-sistem nilai serta penerapannya ia berada di antara dua kemungkinan itu.
Setiap zaman, setiap era peradaban, pada hakekatnya merupakan tahap-tahap tajribah atau eksperimentasi yang tidak ada hentinya. Dengan demikian ketika manusia menyepakati untuk memilih kebersamaan hidup dalam umpamanya format "negara", "negara sekular", "negara Islam", atau apapun saja-secara keilmuan harus dilihat sebagai dinamika ijtihad atau proses pencarian, pengubahan, perombakan dan pembaruan yang tidak final.

Membaca Inti Realitas Negara, Teokrasi dan Islam
Islam membuka pintu lebar-lebar bagi berbagai kemungkinan bentuk penerapan dan penataan kedaulatan dalam masyarakat manusia. Yang menjadi ukuran utama bukan pola institusionalisasinya, melainkan apakah prinsip moralitas dan aplikasi khilafiahnya dipenuhi atau tidak.
Mungkin kita tetap memilih Negara, dengan segala kesepakatan tentang sisitem kedaulatannya; meskipun pada tingkat tertentu sejumlah legalitas sistem harus dibuat dengan mengandaikan bahwa "manusia tidak bisa dipercaya".
Mungkin pada suatu hari terjadi hal-hal yang istimewa seperti bencana alam total atau Perang Thalia ke-3 yang relatif menghancurkan tatanan-tatanan pokok peradaban negara, sehingga kemudian kita memilih bentuk qaryah saja, semacam small is beautiful', di mana manusia mengikatkan diri dalam semacam lirigkar koloni-koloni kecil, dan pola-pola perhubungan politis, hukum dan budayanya diusahakan tetap "mengandalkan manusia"
Atau berbagai kemungkinan lain. Islam tidak membatasinya, kecuali mempedomankan moralitas khilafiah atau acuan keilahian: dengan menyerahkan kepada manusia apakah hal itu diserahkan hanya kepada otoritas permanusia, ataukah di legalisasikan secara institusional.
Sejauh ini iklim pemikiran dunia mengenai kedaulatan politik sangat diwarnai oleh antara lain trauma Abad Pertengahan Eropa di mana otoritas keagamaan atau keilahian dimanipulasi, dieksploitasikan untuk kepentingan suprastruktur kepemerintahan suatu negara. Sesungguhnya sejumlah ilmu, pemikirari ideologi pokok yang berlaku pada abad 19 dan 20 merupakan "anak berontak" terhadap tipologi "bapak" middle age semacam itu. Perspektif demokrasi, "hati" kom-unisme dan "kepalan tangan" marxisme, secara historis dialektis "digambar" oleh 'rbapak" tersebut.
Pada gilirannya Agama dan Tuhan menjadi korban atau kambing hitam tanpa henti-hentinya, karena ilmu pengetahuan ummat manusia sampai akhir abad 20 tidak kunjung mampu mengurai secara jemih dimensi nilai murni Tuhan dan Agama dari praktek-praktek sejarah yang memanipulasikannya.
Tidak mengherankan apabila segala berita tentang teokrasi akan masih langsung "menyakitkan hati". Kalau o-rang tidak bisa meredusir "racun" dari "minuman", maka yang di-buang ke dalam got bukan hanya racun, tetapi juga minu-mannya. Apabila dalam skala peradaban global: kemung-kinan untuk memilah racun dari minuman barang kali membutuhkan jangka waktu yang sangat tidak sebentar.
Islam "ketiban sial" pada momentum belum teruraikannya racun dari minuman selama ini. Persepsi dunia ten-tang "Fundamentalisme Islam" sangat bias. Setiap kemurigkinan tumbuhnya Teokrasi Islam akan secara otomatis dianggap merupakan ancaman terhadap demokrasi. Hari-hari FIS dihajar dan coba dimusnahkan oleh pemerintahan nasional Aljazair: secara rasional dunia sudah bisa memberi peringatan "Jangan korban demokrasi!". Tetapi secara psikologis pada akhirnya akan disepakati bahwa intuk sementara secara darurat demokrasi memang tidak ipa-apa dikorbankan, karena toh itu merupakan "pilihan rang lebih baik" dibanding apabila gerakan fundamentalisne Islam dibiarkan hidup.
Sampai awal abad 21 Islam herada di "tanah genting" (meminjarn istilah KH Muhammad Zuhri), yakni "di garis Dertemuan antar dua gelombang laut, suatu posisi yang sangat mempelesetkan: namun justru di tempat itulah ikan mati bekal Nabi Musa yang dibawa oleh Dzun-Nun sahabatnya menjadi hidup kembali". Artinya, ini justru bisa merupakan awal dari momentum kebangkitan).
Iklim "tanah genting" berlangsung juga secara nasional di Indonesia. Pemikiran-pemikiran Islam mutakhir ambil contoh pandangan-pandangan KH Abdurahman Wahid serta sepak terjangnya membawa Nahdlatul Ulama merefleksikan suatu "keadaan tiarap" tertentu. Islam "disembunyikan" dari probabilitas kekuasaan dalam Negara, dan lebih mengendalikan diri sebagai semacam "pohon pionir". Pengejawantahan Islam lebih diletakkan tiang bendera, melainkan "jadilah" muatan-muatan yang mensifati bendera apapun.()

Dies Natalis Ull Yogyakarta 12 Februari 1992
(Emha Ainun Nadjib/ "Nasionalisme Muhammad" - Islam Menyongsong Masa Depan / Sipress / 1995 / PadhangmBulanNetDok)

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

MOHON BERSABAR

Seri PadangBulan (98) MOHON BERSABAR ------------------------------------------------------------------------ Markas Hamas, Padangbulan, Kiai Kanjeng, Cak Nun, (tempat program-program "Shalawat, Bernyanyi, Pendidikan Politik, Jamaah Ekonomi, Silaturahmi Kebangsaan danKemanusiaan" digodog) memohon dengan sangat para pengundang di bawah ini (yang terdaftar sampai 10 Nopember 1998) bersabar menunggu giliran jawaban. Undangan acara-acara terpaksa dimohon kearifannya untuk diskedul seirama dengan effisien dan effektifnya route perjalanan acara Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng. Setiap lingkaran wilayah dirangkaikan menjadi satu putaran, agar mondar-mandirnya Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng tidak terlalu boros waktu dan tenaga. Sehari maksimal 5 (lima) acara yang diperhitungkan pembagian waktunya di suatu lingkaran wilayah yang bisa dijangkau. Yang manusiawi sepertinya cukup 3 (acara) dalam sehari. Contoh terakhir (10 Nopember 1998), acara Cak Nun/Kiai Kanjeng/Hamas di Undip, kemudian IAIN &qu