Skip to main content
Da'wah Kampus Pasca Mataram

Da'wah di kampus merupakan sebuah fenomena mengesankan. Kampus sebagai lapisan masyarakat tersendiri, adalah agen penting dari pertumbuhan hari depan bangsa. Namun, tak dapat diabaikan pula tumbuhnya lembaga da'wah di luar kampus, yang formatnya sudah bukan tradisi lagi. Di Yogyakarta, misalnya, ada angkatan muda masjid yang begitu gairah mengaji Islam. Dengan demikian, da'wah di kampus, tumbuh dan berkembang seiring dengan da'wah di luar kampus.
Kenyataan ini, sekali lagi membuktikan, bahwa Islam tidak dapat ditekan dan dilenyapkan dalam keadaan sulit macam apapun.

Dinasti Mataram
Jika diamati, ada kaitan erat antara perkembangan historis Ummat Islam dengan dunia perpolitikan Indonesia. Sejak keruntuhan Majapahit dan dimulainya kekuasaan Mataram, hingga saat ini, kasusnya sama saja. Kerajaan-kerajaan tersebut memiliki inti kekuasaan Jawa. Mereka mencoba merangkui Islam sebagai bagian dari Jawa, tapi dengan syarat, kebudayaan Islam yang murni harus diblokade sedemikian rupa sampai batas tertentu. Boleh salat, puasa dan seterusnya. Bila mengganggu kekuasaan jawa, Islam akan dihapus.
Pada zaman Mataram, sebagai misal, Islam tidak dilawan secara frontal. Namun justru dijadikan bagian dari kekuasan dinastik dengan kondisi kebudayaan Islam yang mandeg.
Meskipun da'wah dewasa itu cukup berkembang, tapi sejarah tak bisa melupakan tragedi pembunuhan terhadap para ulama dan kiai pada zaman Amangkurat II.
Saat ini keadaannya tidak banyak berbeda. Meski formatnya lain, substansinya tetap sama. Artinya, secara politis, ideologis dan kultural, terdapat usaha-usaha yang ingin menghentikan pertumbuhan Islam. Bahkan ada kelompok yang bersikeras: Islam harus mandul di bumi Indonesia..
Islam dalam sejarah Indonesia, selalu dipakai pemberontak untuk merebut kekuasaan. Bila pemberontakan telah berhasil, maka Islam ditekan. Pada giliran berikutnya, Islam kembali dipakai pemberontak baru untuk merebut kekuasaan baru. Bila pemberontak yang ini berkuasa, maka Islam kembali ditekan dan dicampakkan. Demikian seterusnya, daur pemberontakan menjadi arus sejarah yang tidak bisa dihindarkan.
Penjelasan tersebut sesungguhnya diperlukan untuk memberikan latar belakang bagi pertumbuhan Islam yang begitu pesat saat ini. Fenomena da'wah di kampus atau gerak jilbabisasi, sesungguhnya tidak dikehendaki oleh gelombang kekuasaan". namun mengapa .semua itu justru berkembang? Alasannya-sederhana. Justru ketika sekelompok manusia merasa ditekan, merasa menjadi pinggiran dan merasa akan musnah, maka tumbuh dan berkembanglah sebentuk kesadaran untuk mempertahankan eksistensinya .

Dewa Pemikiran
Selama ini, arena da'wah disemaraki dengan tema-tema pembaharuan atau pertumbuhan pemikiran Islam.

Artinya, ada usaha mempelajari Qur'an dan Sunnah kembali. Hal ini sesungguhnya merupakan sesuatu yang khas dalam sistem politik, ekonomi dan kebudayaan yang menganut garis kanan, seperti Indonesia.
Dalam rumusan politik internasional, pada keadaan seperti sekarang akan tampil dua alternatif: gerakan kiri atau gerakan Islam militan. Bila di negeri Syi'ah bisa berkembang, maka radikalisme agama akan bangkit dengan mudahnya. Gerakan kiri dalam waktu 5-10 tahun belakangan ini, juga tumbuh pesat, waIau tidak memilki kekuatan yang pasti.
Keadaan seperti sekarang sebagian dari mekanisme sosial, kultur politik dan kekuatan ekonomi
menghendaki jawaban atas berbagai pertanyaan yang timbul. Apa yang sebenarnya terjadi? Kemudian; apa yang harus diperbuat? Ada kelompok yang mencoba mencari jawaban Marxis. Tapi kita mencari jawaban dari Islam. Kita pelajari kembali Islam sebagai filsafat, tata nilai dan sistem kehidupan. Kita buka kembali Qur'an dan Sunnah untuk merumuskan keadaan.
Buku-buku tentang Islam terbit secara membludak. 0leh karena, begitu banyaknya buku-buku yang dipelajari, kita menjadi pintar mendadak. Narnun, sebenarnya kita "bodoh". Dalam arti, kita mengenali informasi tentang realitas Islam yang beraneka ragam melalui kata-kata dan pernyataan-pernyataan verbal. Padahal, akan berbeda, jika kita melihat dan memahami realitas itu melalui pengalaman nyata. Umpamanya, kita mengenal kemiskinan struktural atau kemiskinan kultural. Kita begitu fasih berbicara tentang problema kemiskinan dalam berbagai seminar dan diskusi, tetapi, kita sama sekali tidak tahu apa-apa tentang siapa itu orang miskin dan bagaimana persisnya keadaan mereka. Dalam situasi seperti itu, Islam kehilangan keramatnya sebagai pembebas kaum dhu'afa.
Ummat Islam Indonesia makin hari makin disibukkan oleh pembahasan pemikiran Islam yang kadang-kadang terlalu "Tinggi" tapi kadang-kadang juga terlalu "Sepele". Dalam konteks tersebut, kita perlu memegang suatu prinsip. Dalam Figh aturan keagamaan yang formal kita perlu panutan yang luas, Namun dalam Syari'at - aturan yang luas meliputi ibadah muamalah, termasuk "Dak'wah sosial", "puasa sosial",puasa struktur" dan seterusnya kita tidak perlu mencari "dewa pemikiran ". Artinya kita tidak perlu menggabungkan diri dalam satu panutan.
Kita harus bersikap kritis terhadap diri kita, kakak-kakak kita dan bapak-bapak kita. Terhadap Gus Dur, Cak Nur, atau Cak Menteri Agama, kita tak boleh kehilangan sikap kritis. Kita harus kritis terhadap mereka, para pakar yang terlalu yakin menjamin kebenaran yang hendak kita can. Sikap kritis itu berguna. Agar kita sungguh-sungguh menjadi pemimpin bagi kita sendiri. Agar kita tidak terperangkap dalam perkara yang kita sendiri tidak mengerti ujung pangkalnya. Dengan demikian, kita tidak taqlid kepada orang yang tidak pantas untuk ditaqlidi.

Berhitung Secara Politis
Dalam gerakan da'wah, terdapat dua dimensi. Yakni, dimensi intelektual dan dimensi politis-stategis. Kedua dimensi tersebut perlu dibedakan. Selama ini, kita terlalu mengkonsentrasikan diri pada dimensi intelektual.

Kita terlalu sering terpaku untuk menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang dianggap politis-strategis dalam rangka intelektual. Misalnya, pertanyaan bahwa di dalam Islam tidak ada konsep kenegaraan. Mengapa hanya "negara Islam" saja yang ditolak, sedang "negara nasional" tidak? Secara intelektual itu tidak obyektif.
Da'wah di kampus perlu dirumuskan secara jelas. Apakah akan digunakan untuk mencari kebenaran obyektif dalam rangka ilmu atau mencari kebenaran sejarah dalam kerangka politis. Dalam hal ini, kita bisa terjebak.

Karena sesungguhnya kita tidak hanya melakukan studi-studi Islam yang steril, namun juga sedang melakukan perjalanan proses gerakan sejarah, sebuah gerakan kebudayaan baru, kebudayaan agama namanya.
Gerakan tersebut juga dapat disebut gerakan sosial, karena merupakan mekanisme baru dalam dinamika sosial. Juga dapat dikategorikan gerakan politis, karena pertumbuIan gerakan kebudayaan baru. Maaf, kita tidak sedang nendiskusikan da'wah dalam kerangka politik praktis. Biar bagaimanapun, tetap saja diperlukan untuk memperhatikan dimensi-dimensi politik dalam aktivitas da'wah, termasuk dalam lembaga da'wah kampus. Gerakan da'wah di kampus tidak dapat dihentikan jika kita sendiri mengetahui dosis yang tepat untuk memfungsikannya.
Dalam rangka menemukan dan memahami seberapa dosis yang tepat itu, kita perlu memperhatikan blokade-blokade yang menghadang. Blokade tersebut mungkin tidak hanya berasal dari lapisan kekuasaan yang ada namun justru dari struktur di dalam kepemimpinan ummat Islam.
Dalam "organisasi ummat" yakni suatu bayangan entang bangunan masyarakat Islam di Indonesia terdapat lapis massa, lapis elit, dan lapis di antara keduanya. Pelapisan memiliki varian-variannya sendiri.
Orang-orang mnuda di kampus termasuk lapis tengah yang masih magnetis terhadap ummat dan sekaligus juga bergaul dengan elit di atas, sesungguhnya kebangkitan Islam yang sedang berlangsung, tercermin dalam lapis bawah dan menengah. Bukan lapisan atas. Sedangkan gairah ummat untuk mempelajari Islam kembali adalah suatu hal vang tidak dapat diabaikan begitu saja. Sementara, mahasiswa yang belum terikat secara sosial-ekonomi, atau politis, asih memiliki kebebasan untuk berbuat dan berkehendak. Namun bila sudah bekerja, menikah, dan mapan dalam struktur kekuasaan, maka para mahasiswa itu akan berbenturan dengan idealis yang digembar-gemborkannya.
Khalayak mahasiswa yang sedang bergerak naik ke atas tkan terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok yang over dosis atau dosis tinggi, yakni mereka yang akan segera berbenturan dengan struktur atas sehingga akan diamankan atau dilenyapkan. Kedua, kelompok yang menguap dalam arti tidak menjadi apa-apa, mujahid bukan dajjal pun bukan. Ketiga, kelompok yang kompromistis yang akan mengingkari segala sesuatu yang telah digembar-gemborkannya di masjid kampus. Akan masuk kemanakah kita nanti?

Tema Pemikiran Yang Aneh
Para mahasiswa diijinkan untuk berbicara tentang tema-tema Islam struktural seperti ekonomi Islam, politik Islam dan sebagainya. Namun ketika pemikiran tersebut dibawa ke lapis atas, situasi jadi macet. Karena lapis elit telah terikat pada struktur dan menjadi bagian dari sistem yang mapan. Keadaan macam ini mungkin akan terulang; apabila nahasiswa nanti menjadi bagian dari lapis atas atau partner kekuasaan yang ada. Pemikiran Islamnya akan tersaring nenuju tema-tema tertentu yang tidak penting dengan keadaan ummat, seperti tema-tema : "sekularisasi, Laailaaha ullaha", "assalamu'alaikum" dan lain-lain. Tema-tema tersebut mungkin relevan jika dipaksakan. Tapi, jelas tidak urgen skala prioritasnya jadi aneh.
Saya terus terang khawatir, jangan-jangan apa yang sedang hangat diperdebatkan saat ini benar-benar tidak bisa dimengerti oleh ummat. Memang ada pakar yang dengan sombong berkata, bahwa dia sedang bicara di kalangan akademis. Namun, siapa yang bisa menghilangkan eksistensi ummat. Hal semacam ini mungkin disebabkan, karena lapis atas atau elit muslim Indonesia secara relatif telah menjadi bagian dari kekuasaan yang besar.
Sesungguhnya mahasiswa dapat menjadi penjelajah untuk menghubungkan lapis atas dengan lapis bawah.

Mahasiswa diharapkan mampu mengisi kekosongan dengan menjelaskan maksud kelompok elit kepada ummat. Dan pada saat yang sama menyampaikan aspirasi urnmat kepada lapis atas. Jika saling pengertian dan pemahaman telah terjalin, maka kita akan mampu mendorong ummat ke arah tujuan yang dikehendaki bersama.

Surabaya, 28 Januari 1988
Ceramah di Forum Silaturahmi Lembaga Da'wah Kampus se-Jawa. Di masjid Universitas Airlangga Surabaya.

(Emha Ainun Nadjib/ "Nasionalisme Muhammad" - Islam Menyongsong Masa Depan / Sipress / 1995 / PadhangmBulanNetDok)

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

MOHON BERSABAR

Seri PadangBulan (98) MOHON BERSABAR ------------------------------------------------------------------------ Markas Hamas, Padangbulan, Kiai Kanjeng, Cak Nun, (tempat program-program "Shalawat, Bernyanyi, Pendidikan Politik, Jamaah Ekonomi, Silaturahmi Kebangsaan danKemanusiaan" digodog) memohon dengan sangat para pengundang di bawah ini (yang terdaftar sampai 10 Nopember 1998) bersabar menunggu giliran jawaban. Undangan acara-acara terpaksa dimohon kearifannya untuk diskedul seirama dengan effisien dan effektifnya route perjalanan acara Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng. Setiap lingkaran wilayah dirangkaikan menjadi satu putaran, agar mondar-mandirnya Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng tidak terlalu boros waktu dan tenaga. Sehari maksimal 5 (lima) acara yang diperhitungkan pembagian waktunya di suatu lingkaran wilayah yang bisa dijangkau. Yang manusiawi sepertinya cukup 3 (acara) dalam sehari. Contoh terakhir (10 Nopember 1998), acara Cak Nun/Kiai Kanjeng/Hamas di Undip, kemudian IAIN &qu