Koran SINDO, Jum'at, 30/11/2007
KEMARIN saya berbicara di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) dalam sesi bersama Dewi Fortuna Anwar dan Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad.
Tema yang diangkat adalah pengefektifan otonomi daerah untuk meningkatkan ketahanan nasional. Sudah pasti ini bukan bidang saya. Undangan ini termasuk "tersesat". Dewi Fortuna dengan sangat artikulatif dan ilmiah mengemukakan pemikiran-pemikirannya, dialektis makro dan mikro, sangat penuh disiplin karena dia berasal dari habitat BJ Habibie. Fadel bercerita tentang pokok pengalamannya 6 tahun menjadi gubernur dalam hal yang terkait dengan tema.
Paparannya sangat nyata, sejumlah rekomendasi dia kemukakan tidak berasal dari pemikiran, tetapi dari pengalaman nyata. Sejak awal mendapat undangan saya sudah mengalami kebingungan.Sudah beberapa tahun ini saya berkeliling ke daerah-daerah dan umumnya diundang oleh pemda provinsi, kotamadya atau kabupaten, sendirian atau bersama Kiai Kanjeng, sehingga nuansa dan problematika otonomi daerah mungkin serbasedikit bersentuhan dengan perjalanan saya. Ramadan lalu saya berjumpa dengan ribuan rakyat Gorontalo pencinta "Habib" Fadel Muhammad, sebagian dari 83% pemilih Fadel pada pemilihan gubernur kali kedua lalu.
Dua malam yang lalu bersama Kiai Kanjeng kami bercengkerama dengan 18.000-an orang di Alun-Alun Kraksan Probolinggo, di tengah situasi menjelang Pilkada Kabupaten. Sejauh kami berkeliling daerah, hampir tak pernah kami tidak mewawancarai para kepala daerah, secara audiovisual, tentang apa saja yang mereka lakukan bagi pembangunan daerahnya dan penyejahteraan rakyatnya.Dokumentasi itu kami simpan untuk pembelajaran sendiri. Sesekali kami paparkan kepada Jamaah Maiyah di Kenduri Cinta,Padangbulan, Bangbang Wetan, Mocopat Syafaat, Gambang Syafaat dan Obor Ilahi. Andai kami punya televisi atau koran, tentu kami akan memuatnya.
Apalagi wawancaranya sangat lengkap,metode penggalian faktanya komprehensif, bahkan didahului dengan semacam prariset atau identifikasi masalah, sehingga setiap pertanyaan yang kami ajukan langsung analitis dan penetratif terhadap hal-hal aktual yang sedang dikerjakan oleh para kepala daerah. Ada sejumlah hasil pemotretan dari wawancara itu tentang berbagai jenis watak kepala daerah, metode pembangunannya, jenis pengelolaannya terhadap kekuasaan, psikologi, budayanya,dan macam-macam lagi Ditambah sisi-sisi kenyataan lain dari setiap daerah, umpamanya yang berkaitan dengan tugas kepolisian, militer, budaya lokalnya, pemetaan perekonomiannya, dan seterusnya. Akan tetapi, semua itu tidak membuat saya merasa cukup untuk melakukan presentasi dalam diskusi Lemhannas itu.
Aslinya,terlalu banyak masalah di negeri ini. Jenis komplikasi masalah-masalahnya juga tak terkirakan dan gaib jika dilihat dari perspektif ilmu sosial linier. Ketika masalahmasalah yang tak terhingga itu berparade di depan mata secara eskalatif dan akumulatif, bahkan mengguyur otak bagaikan hujan multisampah menenggelamkan kepala kita - sesungguhnya sangat sukar ditemukan jawaban-jawaban ilmiah, jawaban sistem, jawaban struktur, jawaban moral, jawaban mistik, atau jawaban apa pun.
Diskusi di Lemhanas itu menyimpulkan bahwa otonomi daerah yang biasa disingkat otda itu "point of no return", kayak pesawat sudah tancap untuk take off, kalau direm akan menerjang kampung penduduk di depan atau terjungkal oleh dirinya sendiri.Maka kalau memang harus ada jawaban, yang paling mungkin adalah jawaban psikologis. Maka di awal presentasi saya mengatakan: "Kalau saya memandang wajah Anda semua, maka saya menyimpulkan bahwa Indonesia ini tak punya masalah.
Jadi saya berdiri di sini tidak menyiapkan pemikiran apa-apa, apalagi yang sifatnya pencerahan. Saya berdiri di sini hanya membawa kegembiraan.Yakni kegembiraan bahwa Indonesia tak ada masalah." Sebelum itu, di tengah kebingungan, saya menyiapkan untuk forum Lemhannas tersebut beberapa tumpuk berkas, dokumen dan surat menyurat. Saya pilih misalnya berkas dibakarnya Pasar Turi Surabaya. Pasukan Maiyah di lapangan melaporkan: Pasar Turi terbakar sebanyak 4 kali.Pertama tahun 1969, kedua 1978, ketiga 26 Juli 2007, dan keempat 9 September 2007 (ke-3 dan ke-4, oleh Kapolda Jatim dinyatakan dibakar).
Kerugian materi: 1. Dari total 2.350 stan yang terbakar,kerugian barang dagangan diperkirakan sekitar Rp1,7 triliun. 2. Dari total stan yang tidak terbakar, di lokasi tahap II tidak dapat berjualan kembali hingga saat ini. 3. Dalam kondisi normal, omzet perputaran transaksi perdagangan di Pasar Turi mencapai sekitar Rp30 miliar per hari.Dalam kondisi pemulihan yang sangat lamban, seperti saat ini dan telah berlangsung selama 3 bulan, dapat dibayangkan berapa rupiah yang hilang. Pasar Turi ini memuat tema kapitalisme liberal, feodalisme kerajaan yang berbaju republik, otoritarianisme kepala daerah yang berkostum demokrasi, pernikahan liberal antara investor dengan kekuasaan.
Para pedagang yang kehilangan pasarnya itu,sebagaimana 47.000 korban lumpur,datang ke saya memberi mandat legal formal untuk mengupayakan penyelesaian masalah. Saat-saat ini sejumlah hal sedang saya coba penetrasikan sampai ke tingkat Mendagri. Akan tetapi saya merasa beruntung karena saya membatalkan untuk membawa data-data tentang itu, ketika kemudian Fadel Muhammad menyatakan,"Selama 6 tahun saya menjadi gubernur, belum pernah surat saya kepada Mendagri mendapatkan balasan." Apalagi surat dari pedagang Pasar Turi.Jadi,alhamdulillah saya tidak jadi membawa berkas-berkas itu.
Di luar lumpur dan Pasar Turi, sebenarnya saya siapkan juga sejumlah berkas lain. Misalnya tentang 325 hektare tanah penduduk di pojok Surabaya yang 23 tahun dipakai oleh Angkatan Laut dan belum dibayar sampai hari ini, meskipun mereka sudah menang di pengadilan dan sudah memegang surat janji KSAL untuk membayar. Ada juga berkas contoh Surat Transaksi antara kandidat gubernur, calon wali kota, atau calon bupati dengan sponsor.Atau surat pernyataan kesetiaan kepada "operator" politik yang bekerja di pusat jaringan,yakni Jakarta.
Tetapi sekali lagi, saya bersyukur saya membatalkan itu semua dan diberi anugerah Tuhan berupa pernyataan bahwa Indonesia tidak punya masalah. Masalah itu adalah atau menjadi masalah jika terdapat pada orang atau pihak yang bermasalah dengan adanya masalah. Sedangkan rakyat Indonesia sudah sangat dan terlalu sering ditimpa masalah, sehingga sangat terbiasa dengan masalah, dan bahkan mampu hidup seolah-olah tak bermasalah di tengah sangat banyak masalah. Lebih dari itu, sejumlah segmen rakyat sudah memiliki kesanggupan untuk menikmati masalah. (*)
EMHA AINUN NADJIB
KEMARIN saya berbicara di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) dalam sesi bersama Dewi Fortuna Anwar dan Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad.
Tema yang diangkat adalah pengefektifan otonomi daerah untuk meningkatkan ketahanan nasional. Sudah pasti ini bukan bidang saya. Undangan ini termasuk "tersesat". Dewi Fortuna dengan sangat artikulatif dan ilmiah mengemukakan pemikiran-pemikirannya, dialektis makro dan mikro, sangat penuh disiplin karena dia berasal dari habitat BJ Habibie. Fadel bercerita tentang pokok pengalamannya 6 tahun menjadi gubernur dalam hal yang terkait dengan tema.
Paparannya sangat nyata, sejumlah rekomendasi dia kemukakan tidak berasal dari pemikiran, tetapi dari pengalaman nyata. Sejak awal mendapat undangan saya sudah mengalami kebingungan.Sudah beberapa tahun ini saya berkeliling ke daerah-daerah dan umumnya diundang oleh pemda provinsi, kotamadya atau kabupaten, sendirian atau bersama Kiai Kanjeng, sehingga nuansa dan problematika otonomi daerah mungkin serbasedikit bersentuhan dengan perjalanan saya. Ramadan lalu saya berjumpa dengan ribuan rakyat Gorontalo pencinta "Habib" Fadel Muhammad, sebagian dari 83% pemilih Fadel pada pemilihan gubernur kali kedua lalu.
Dua malam yang lalu bersama Kiai Kanjeng kami bercengkerama dengan 18.000-an orang di Alun-Alun Kraksan Probolinggo, di tengah situasi menjelang Pilkada Kabupaten. Sejauh kami berkeliling daerah, hampir tak pernah kami tidak mewawancarai para kepala daerah, secara audiovisual, tentang apa saja yang mereka lakukan bagi pembangunan daerahnya dan penyejahteraan rakyatnya.Dokumentasi itu kami simpan untuk pembelajaran sendiri. Sesekali kami paparkan kepada Jamaah Maiyah di Kenduri Cinta,Padangbulan, Bangbang Wetan, Mocopat Syafaat, Gambang Syafaat dan Obor Ilahi. Andai kami punya televisi atau koran, tentu kami akan memuatnya.
Apalagi wawancaranya sangat lengkap,metode penggalian faktanya komprehensif, bahkan didahului dengan semacam prariset atau identifikasi masalah, sehingga setiap pertanyaan yang kami ajukan langsung analitis dan penetratif terhadap hal-hal aktual yang sedang dikerjakan oleh para kepala daerah. Ada sejumlah hasil pemotretan dari wawancara itu tentang berbagai jenis watak kepala daerah, metode pembangunannya, jenis pengelolaannya terhadap kekuasaan, psikologi, budayanya,dan macam-macam lagi Ditambah sisi-sisi kenyataan lain dari setiap daerah, umpamanya yang berkaitan dengan tugas kepolisian, militer, budaya lokalnya, pemetaan perekonomiannya, dan seterusnya. Akan tetapi, semua itu tidak membuat saya merasa cukup untuk melakukan presentasi dalam diskusi Lemhannas itu.
Aslinya,terlalu banyak masalah di negeri ini. Jenis komplikasi masalah-masalahnya juga tak terkirakan dan gaib jika dilihat dari perspektif ilmu sosial linier. Ketika masalahmasalah yang tak terhingga itu berparade di depan mata secara eskalatif dan akumulatif, bahkan mengguyur otak bagaikan hujan multisampah menenggelamkan kepala kita - sesungguhnya sangat sukar ditemukan jawaban-jawaban ilmiah, jawaban sistem, jawaban struktur, jawaban moral, jawaban mistik, atau jawaban apa pun.
Diskusi di Lemhanas itu menyimpulkan bahwa otonomi daerah yang biasa disingkat otda itu "point of no return", kayak pesawat sudah tancap untuk take off, kalau direm akan menerjang kampung penduduk di depan atau terjungkal oleh dirinya sendiri.Maka kalau memang harus ada jawaban, yang paling mungkin adalah jawaban psikologis. Maka di awal presentasi saya mengatakan: "Kalau saya memandang wajah Anda semua, maka saya menyimpulkan bahwa Indonesia ini tak punya masalah.
Jadi saya berdiri di sini tidak menyiapkan pemikiran apa-apa, apalagi yang sifatnya pencerahan. Saya berdiri di sini hanya membawa kegembiraan.Yakni kegembiraan bahwa Indonesia tak ada masalah." Sebelum itu, di tengah kebingungan, saya menyiapkan untuk forum Lemhannas tersebut beberapa tumpuk berkas, dokumen dan surat menyurat. Saya pilih misalnya berkas dibakarnya Pasar Turi Surabaya. Pasukan Maiyah di lapangan melaporkan: Pasar Turi terbakar sebanyak 4 kali.Pertama tahun 1969, kedua 1978, ketiga 26 Juli 2007, dan keempat 9 September 2007 (ke-3 dan ke-4, oleh Kapolda Jatim dinyatakan dibakar).
Kerugian materi: 1. Dari total 2.350 stan yang terbakar,kerugian barang dagangan diperkirakan sekitar Rp1,7 triliun. 2. Dari total stan yang tidak terbakar, di lokasi tahap II tidak dapat berjualan kembali hingga saat ini. 3. Dalam kondisi normal, omzet perputaran transaksi perdagangan di Pasar Turi mencapai sekitar Rp30 miliar per hari.Dalam kondisi pemulihan yang sangat lamban, seperti saat ini dan telah berlangsung selama 3 bulan, dapat dibayangkan berapa rupiah yang hilang. Pasar Turi ini memuat tema kapitalisme liberal, feodalisme kerajaan yang berbaju republik, otoritarianisme kepala daerah yang berkostum demokrasi, pernikahan liberal antara investor dengan kekuasaan.
Para pedagang yang kehilangan pasarnya itu,sebagaimana 47.000 korban lumpur,datang ke saya memberi mandat legal formal untuk mengupayakan penyelesaian masalah. Saat-saat ini sejumlah hal sedang saya coba penetrasikan sampai ke tingkat Mendagri. Akan tetapi saya merasa beruntung karena saya membatalkan untuk membawa data-data tentang itu, ketika kemudian Fadel Muhammad menyatakan,"Selama 6 tahun saya menjadi gubernur, belum pernah surat saya kepada Mendagri mendapatkan balasan." Apalagi surat dari pedagang Pasar Turi.Jadi,alhamdulillah saya tidak jadi membawa berkas-berkas itu.
Di luar lumpur dan Pasar Turi, sebenarnya saya siapkan juga sejumlah berkas lain. Misalnya tentang 325 hektare tanah penduduk di pojok Surabaya yang 23 tahun dipakai oleh Angkatan Laut dan belum dibayar sampai hari ini, meskipun mereka sudah menang di pengadilan dan sudah memegang surat janji KSAL untuk membayar. Ada juga berkas contoh Surat Transaksi antara kandidat gubernur, calon wali kota, atau calon bupati dengan sponsor.Atau surat pernyataan kesetiaan kepada "operator" politik yang bekerja di pusat jaringan,yakni Jakarta.
Tetapi sekali lagi, saya bersyukur saya membatalkan itu semua dan diberi anugerah Tuhan berupa pernyataan bahwa Indonesia tidak punya masalah. Masalah itu adalah atau menjadi masalah jika terdapat pada orang atau pihak yang bermasalah dengan adanya masalah. Sedangkan rakyat Indonesia sudah sangat dan terlalu sering ditimpa masalah, sehingga sangat terbiasa dengan masalah, dan bahkan mampu hidup seolah-olah tak bermasalah di tengah sangat banyak masalah. Lebih dari itu, sejumlah segmen rakyat sudah memiliki kesanggupan untuk menikmati masalah. (*)
EMHA AINUN NADJIB
Comments