Skip to main content

Bangbang Geni

Surya, Sabtu, 08 Desember 2007

Jaringan Bangbang Wetan yang di Jakarta, yakni Komunitas Kenduri Cinta, beberapa hari yll saya mintai tolong mensupport kegiatan Urban Poor Concortium antara 5 sd 10 Desember ini.

Mereka ingin Presiden hadir berdialog dengan kaum miskin urban Jakarta yang mereka kumpulkan. Tetapi Wardah Hafidh, pimpinan UPC, baru menghubungi kami awal Desember. Bagaimana mungkin Presiden "didadak". Tetapi tetap saya upayakan dan teman-teman KC bergerak dari level dan wilayah mereka.
Bagi saya inisiatif itu sangat menarik. UPC tergolong LSM besar dan sudah lebih 10 tahun menemani masyarakat miskin perkotaan. Saya tidak akan menilai apa-apa tentang LSM, tetapi Wardah dan UPC yang selama ini dikenal frontal dan radikal secara politik menghadapi pemerintah, terutama Pemerintah DKI: menarik untuk ditengok bahwa mereka membuka dialog dengan Presiden.
UPC percaya kepada dialog, kepada komunikasi, perundingan, perdebatan - tak hanya berjuang dengan mengandalkan kebencian, menuding-nuding, "ngarani" dan "ngrasani".
Wardah Hafidh, kakak kandung Salman Hafidh yang dulu dihukum mati oleh rezim Suharto karena kasus penyerbuan Polsek di Bandung, selama ini memang tidak dikenal "hobi" omong, bikin statemen di koran, pidato gagah, orasi kejam menusuk-nusuk mereka yang dibenci.
Wardah bersuara sangat lirih dan lembut. Tak suka tampil. Tak merasa dirinya tokoh atau pejuang. Wardah dengan setting sejarah Masyumi meskipun ia bukan kader Masyumi: percaya bahwa yang dicari rakyat adalah solusi. Yang dibutuhkan masyarakat yang bermasalah adalah jalan keluar. Wardah bukan pedagang masalah, yang punya kepentingan untuk mencari masalah, menghimpun masalah, memelihara masalah, mempertahankan masalah, karena penghidupannya bersumber dari masalah rakyat.
Wardah sangat mencintai rakyat kecil, karena memang demikian habitat keluarganya sejak dulu. Bersekolah di Mu'allimat Muhammadiyah, Sarjana Bahasa Inggris IKIP Malang, meneruskan di Ballstate University, Muncy City, Indianapolis, Amerika Serikat. Bertamu ke Allah di rumah-Nya diam-diam, dan pulang ke tanah air tanpa memasangnya sebagai hiasan penampilan sosialnya. Wardah menikmati diri dan kehidupannya yang sejati menjelang usia senjanya.
Tetapi tidak mungkin Presiden kita "paksa" mengubah skedulnya yang padat dalam waktu yang mendadak. Tetapi bisa kita upayakan agar Presiden menginstruksikan kepada Gubernur DKI Jaya Fauzi Bowo untuk merespon ajakan dialog. Syukur alhamdulillah melalui sejumlah sms dan proses, Gubernur baru itu pada 5 Desember hadir di Tugu Proklamasi Jakarta pada acara UPC menjelang Peringatan Hari HAM 10 Desember. Wardah mengatakan kepada saya bahwa kehadiran Gubernur itu positif, artinya tidak ada kepalsuan ideologis dan kolusi birokrasi. Berlangsung rasional, fair, dengan nuansa dialog dan perundingan.
Tidak nuansa sikap dari Pemerintah yang hitam putih bahwa "pokoknya LSM itu jelek", sebaliknya juga tidak ada irrasionalitas sikap LSM yang mati hidup menyebut "pokoknya Pemerintah itu jelek". Saya tidak menyimpulkan bahwa dengan demikian Indonesia akan keluar dari masalah-masalahnya. Saya tidak mengatakan bahwa nuansa positif ini cukup untuk menyelesaikan masalah. Tetapi bahwa memang demikianlah yang semestinya dilakukan oleh manusia, oleh intelektual, oleh aktivis, oleh pejuang, dalam posisi apapun.
Selama ini kita punya kebiasaan untuk bermusuhan, bermusuhan dan bermusuhan. Menjelek-jelekkan, menjelek-jelekkan dan menjelek-jelekkan. Tetapi sebatas mulut alias cangkem alias cocot alias tutuk alias congor. Kita tidak berkembang menjadi manusia pilih tanding berani tandang. Beraninya omong di belakang layar, melempar dari jauh, bersikap begini di depan bersikap begitu di belakang.
Setelah puji Tuhan Gubernur DKI bisa hadir pada pembukaan acara UPC, saya bilang kepada "Istana":
"Insyaallah ini terakhir saya menyampaikan kerepotan yang berasal dari permasalahan rakyat. Saya tidak mau persaudaraan kita diganggu secara overload oleh problem-problem yang jauh di luar kapasitas saya untuk menyelesaikannya. Saya berusaha tidak akan merepotkan lagi: kasus Pasarturi, tanah Ujung, petani Bangka, dan lumpur yang nanti tak lama lagi akan membara apinya - tidak akan saya tempuh dengan cara seperti kemarin. Memang saya melihat sekam sedang meningkat baranya. Akan ada Bangbang Geni.."
"Tetapi saya juga tahu birokrasi Pemerintah tidak punya tradisi tanggung jawab, tidak mengasah kepekaan terhadap permasalahan rakyatnya, tidak memiliki mekanisme riset dan kontrol untuk berdialektika dengan problem-problem rakyat.''
''Saya tahu mesin birokrasi Pemerintah sangat lamban, terdapat keangkuhan kekuasaan di sana sini, penuh kebebalan hati, tuli telinga dan buta mata, bahkan buta nurani. Saya tahu aturan dan tatanan otoritas Otonomi Daerah masih sangat serabutan, sehingga tidak jelas juga struktur kewenangan antara Walikota atau Bupati dengan Gubernur dan Menteri bahkan Presiden. Seorang Walikota bisa bersikap sangat sombong bahkan menempati maqam persis seperti maqam Firaun".
"Masalah-masalah kerakyatan dan kenegaraan Indonesia terlalu bertumpuk dan terlalu ruwet untuk bisa diladeni dengan tingkat rendah kredibilitas birokrasi yang sekarang ada. Maka sebaiknya saya berhenti merepotkan Presiden. Tidak usah saya datangi sebagaimana dulu bersama perwakilan 96% korban lumpur sehingga Presiden spontan ngantor di Sidoardjo. Ini bukan hanya karena kapasitas Presiden dan kondisi birokrasi Pemerintah sangat tidak kondusif untuk menyelesaikan berbagai masalah. Tetapi juga karena sangat kecil rasa bersyukur banyak orang atas apa-apa yang semestinya mereka syukuri. Juga karena kecil kemauan berbagai pihak untuk bersikap obyektif dan rasional dalam melihat dan menilai sesuatu.."
"Nanti malam saya akan tidur nyenyak dan belum tahu esok pagi bangun dengan pikiran apa soal Bangbang Geni yang akan membara.." *

oleh : Emha

Comments

Anonymous said…
cak nun sampai kapan anda bohongi indonesia dengan topeng anda,segeralah sadar dan insyaf.berbuatlah sesuatu yang terlihat untuk indonesia tanpa bohong

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

MOHON BERSABAR

Seri PadangBulan (98) MOHON BERSABAR ------------------------------------------------------------------------ Markas Hamas, Padangbulan, Kiai Kanjeng, Cak Nun, (tempat program-program "Shalawat, Bernyanyi, Pendidikan Politik, Jamaah Ekonomi, Silaturahmi Kebangsaan danKemanusiaan" digodog) memohon dengan sangat para pengundang di bawah ini (yang terdaftar sampai 10 Nopember 1998) bersabar menunggu giliran jawaban. Undangan acara-acara terpaksa dimohon kearifannya untuk diskedul seirama dengan effisien dan effektifnya route perjalanan acara Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng. Setiap lingkaran wilayah dirangkaikan menjadi satu putaran, agar mondar-mandirnya Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng tidak terlalu boros waktu dan tenaga. Sehari maksimal 5 (lima) acara yang diperhitungkan pembagian waktunya di suatu lingkaran wilayah yang bisa dijangkau. Yang manusiawi sepertinya cukup 3 (acara) dalam sehari. Contoh terakhir (10 Nopember 1998), acara Cak Nun/Kiai Kanjeng/Hamas di Undip, kemudian IAIN &qu