Skip to main content

Santri dan Modernisasi

"Era Modern"
Apa yang kita sebut "era modern", memiliki daftar distorsi makna nilai-nilai kehidupan jauh melebihi era peradaban umat manusia sebelumnya. Borok paling serius dari "era modern" adalah inkonsistensi nilai-nilai, paradoksalisasi atau pembalikan filosofis, serta ambivalensi perilaku - personal maupun sistemik - yang disofistikasikan sedernikian rupa sehingga nampak tetap gagah dan indah. Maka ada suatu pemahaman dibawah sadar setiap bidang aktivitas, bahkan dalam pikiran setiap orang bahwa yang tidak modern adalah terbelakang, tidak maju dsb. Maka setiap orang berlomba-lomba memasuki peradaban modern.
Kalau mengacu pada pemikiran Weber tentang etika protestant menurutnya ada. hh "Need for Achievement". Asumsi yang sama juga dianut oleh paham modemisasi dalam Islam. Keterbelakangan umat menurut mereka adalah akibat dari 'ada yang salah' dalam teologi yang dianut kaum Muslimin. Mereka menuduh teologi tradisional sebagai penyebab masalah. Maka dianutlah faham-faham teori yang berasal dari rahim ibu modernisasi, untuk mengejar apa yang dipahami sebagai (disebut) kemajuan.

Adakah Kaum Santri Terlibat di Dalamnya?
Indikator keterlibatan itu pertama-tama dikarenakan adanya akumulasi dari keterdesakan politis serta tak terbendungnya banjir tahayul budaya yang bernama "modernisasi", yang mampu membelah Kaum Santri menjadi dua bagian. Pertama, yang mempertahankan "kosmos" mereka secara subyektif dan alienatif. Kedua, keterhanyutan di arus banjir tahayul modern tersebut, dengan mencanggihkan kesanggupan retorts untuk menggagahgagahkan dan mengindah-indahkan peranannya.
Kaum Santri secara langsung terlibat dan ikut menghidupi modifikasi modem "kultur abangan" terutama di kotakota besai, sementara lembaga-lembaga kesantrian habis waktu dan enerjinya sibuk untuk menyesuaikan dirt terhadap mekanisme sistem-sistem "modern" yang berlaku, termasuk juga hukum-hukum kekuasaan yang mengendalikannya.

Etos Santri
Sesungguhnya dengan "etos santri", kaum santri adalah penghuni garda depan dan proses sejarah peradaban manusia.
Etos Santri memuat watak kegairahan dan keterbukaan terhadap ilmu, kemandirian, kemerdekaan dan sikap eksploratif, kasih dan santun mengkhaiifahi proses sejarah yang menyangkut manusia dan alam ; belum lagi substansi-substansi mendasar yang harus digenggam dengan sendirinya : taqwa, tawakal, iklas, muthi' ilallah, dan seterusnya.
Kegairahan dan keterbukaan terhadap ilmu : Islam adalah shirath, thariq, syari', menglslam adalah melakukan perjalanan pengetahuan yang dinamis terus-menerus. Seiap Muslim memahami dan mengantisipasi (berguru, bersekolah) dialektika antara realitas alam (hakekat) dengan realitas sosial (syari'at), menyelenggarakan dan mengolah rekayasa-rekayasa, strategi (thariqat) seperti ide desa, negara, ideologi, sistem, metodologi dst. agar dicapai terminal-terminal pengetahuan dan pengalaman (ma'rifat) baik pada level ilmu, kesejahteraan hidup maupun liqaa-u rabb.
Rumusnya jelas: Iqra' bismi rabb. Lihatlah betapa tertinggalnya Kaum Santri dalam ber-iqra'. justru para pelaku Era Modem menang ber-iqra betapapun gagal bismi rabb, sehingga ilmu pengetahuan yang telah ia capai tidak berma'rifat illalah, bahkan teknologi, industri dan konsurni mereka tidak menjadi hasanah fiddunyya wal-akhirah, tidak merupakan baldah thayyibah yang ber-rabbun ghaur, penuh polusi fisik, psikologis, kultural dan spiritual, karena tidak seorientasi dengan metabolisme alam sunnatullah) yang bebas polusi/residu.

Tentang Kemandirian : Kaum Santri sudah menjadi bagian pokok dari al-mudattsirun atau Kaum Berselimut alias Kaum Yang Terselimuti secara politis, ekonomis dan kultual.
So, qum! Berdirilah. Mandirilah di sebanyak mungkin aspek : Abad ke 21 adalah abad kaum wiraswastawan. Hanya dengan qiyarn kaum santri sanggup memenuhi seruan Fa-andzir! Hanya-dengan kemandirian sanggup menemukan ilmunya sendiri yang relevan dan berakar alias fi aqdaail urnmahat atau ilmu dari "rahim ibu" sendiri, sanggup menciptakan pekerjaan sendiri, sanggup berukhuwah mengatasi sejarah. Kaum santri memiliki kemungkinan ntuk melakukan fungsi indzar (berdakwah oral, berdemonstrasi, menegur bupati, bikin Parpol baru, memilih Presiden yang sungguh-sungguh ahlul amanah, menciptakan jamaah ekonomi, sosial, budaya politik dsb).
Lantas tentang kemerdekaan dan sikap eksploratif. Islam itu beda dengan "salam yang pasif. Karena Islam adalah "kata kerja". Islam adalah pembebasan, pemerdekaan. Islam adalah kondisi merdeka yang memerdekakan : la ikraha fiddin. Islam bukan kepandaian (yang tolol) yang melulu hanya dijadikan alat untuk mengkafir-kafirkan, menajis-najiskan dan mengharam-haramkan; tetapi melakukan perubahan dengan cara melalui irama dan ketepatan transformasi, dari kondisi kufur, najis dan haram - bilhikmah wa-lmau'idhatil hasanah menuju "cahaya" Allah. Seluruh urusan dalam diri sendiri dan lingkungan sejarah dibuat peka terhadap nur, materi ke energi lalu ke cahaya.
Untuk itu semua tak ada yang mampu menganjurkan eksplorasi melebih dari Islam. Siapakah ilmuwan muslim, cendekiawan muslim. Doktor-doktor muslim yang terbiasa mengajari kita pengetahuan dan analisis tentang tahap-tahap Islam melalui substansi empirik peradapan Hud, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa hingga Muhammad? Ilmu dan pengetahuan kita tentang masalah tersebut temyata masih tingkat Sekolah Dasar terus.

Kemudian, kasih dan santun terhadap manusia dan alam ? Kaum santrilah penggenggam utama 'ilmullah tentang rahmatan Kaum santrilah yang seharusnya pertama-ma mengajari dunia tentang ekologi dan ekosistern, tentang demokrasi kaffah, hak azasi, yang memperhatikan tidak saja kepentingan manusia namun juga makhluk seluruh alam ini. Kaum santrilah yang semestinya menjelaskan kepada dunia apa sesungguhnya kemenangan Sulaiman atas Bulkis, apa substansi hubb Isa dan haqq Musa dan managemen hubb-haqq model Muhammad saw.
Dan akhimya penjelasan ilmiah tentang tawakkal, ikhlas (Qul huwallahu ahad kok judulnya "Al-Ikhlas"), stratifikasi kualitatif Fiqih - Akhlaq - Taqwa, futurologi Al-Hasyr, atau detail-detail An-Naml, Al-'Ankabut dst, dari siapakah kita dambakan kalau tidak dari mulut harum kaum santri ?

Di tengah keprihatinan tentang 'terlibatnya' kaum santri dalam proses - yang di atas saya sebut - mencaimya substansi kesantrian maupun permissifisme integritas mereka daam mekanisme sistem-sistem sejarah saya memandang dengan optimis, salah satunya adalah Pesantren Gontor.
Pesantren Gontor, sebagai suatu sistem, watak dan nuan;a, tampak sadar untuk menumbuhkan pertahanan terhalap berbagai 'ancaman' tersebut. Ia tampak bukan saja semakin mengintensifkan dan bangga akan kualitas etos santri mereka, namun juga makin jelas memiliki sikap dan independensi yang tertata di tengah gejala-gejala makro peingkufuran budaya, politik, moral serta keseluruhan peradaban sejarah tempat bersemayam mereka.
Mereka secara cukup gamblang mencoba manjawab berbagai tantangan di era modernisasi demokratisasi kehidupan, redistribusi rizqullah, defeodalisasi kebudayaan, pemerdekaan (Islamisasi) segala bidang dalam pagar iradatullah, bahkan jawaban-jawaban empiris terhadap teknologisasi dan industrialisasi peradaban.
Jika mereka sanggup mengakarkannya ke wilayah yang lebih luas, maka mereka akan sanggup menciptakan infrastruktur dan pola antisipasi terhadap apa yang disebut 'agama", yaitu agama industrialisasi yang sejauh ini justru banyak membelenggu manusia dalam modus-modus modem dari berhala-berhala dan sihir-sihir Fir'aun.
Saya sungguh mendambakan bahwa Pesantren Darussalarn Gontor Ponorogo akan, bahkan sudah dan sedang mengolah suatu generasi baru yang muthahhar, yang tercerahkan (Islamic Renaissance) secara intelektual, mental, moral dan spiritual. Yakni suatu kaum yang karena muthahhar maka dimungkinkan, diperkenankan dan diridloi oleh Allah untuk "menyentuh AlQur'an". Artinya, merupakan "antena" dengan sensitivitas dan kepekaan yang prima untuk memperoleh "siaran" ilmu, kesejahteraan, hikmah, kesembuhan dan keselamatan dari AIQur'an. Dan al-ufuq al-' adhim.
Yang tidak muthahhar tidak hanya memperoleh kekosongan dan AlQur'an. Yang tidak bertaqwa tidak memperoleh petunjuk dari AlQur'an (hudan lil-rnuttaqin)
Dalam konteks Indonesia, merekalah murid-murid Khidlir, penghayat politik, budaya dan peradaban bahari, mental egaliter pesisiran, yang tidak mengulangi penyesalan Musa ketika ikan rnati itu tiba-tiba meloncat keluar menuju "pertemuan antara dua arus air samudra" : ikan yang menjelma dari kematian ke kehidupan
Apakah gerangan dua arus air samudera itu, wahai kaum. santri ?

Yogya, 14 Jull 1991

(Emha Ainun Nadjib/ "Nasionalisme Muhammad" - Islam Menyongsong Masa Depan / Sipress / 1995 / PadhangmBulanNetDok)

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

MOHON BERSABAR

Seri PadangBulan (98) MOHON BERSABAR ------------------------------------------------------------------------ Markas Hamas, Padangbulan, Kiai Kanjeng, Cak Nun, (tempat program-program "Shalawat, Bernyanyi, Pendidikan Politik, Jamaah Ekonomi, Silaturahmi Kebangsaan danKemanusiaan" digodog) memohon dengan sangat para pengundang di bawah ini (yang terdaftar sampai 10 Nopember 1998) bersabar menunggu giliran jawaban. Undangan acara-acara terpaksa dimohon kearifannya untuk diskedul seirama dengan effisien dan effektifnya route perjalanan acara Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng. Setiap lingkaran wilayah dirangkaikan menjadi satu putaran, agar mondar-mandirnya Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng tidak terlalu boros waktu dan tenaga. Sehari maksimal 5 (lima) acara yang diperhitungkan pembagian waktunya di suatu lingkaran wilayah yang bisa dijangkau. Yang manusiawi sepertinya cukup 3 (acara) dalam sehari. Contoh terakhir (10 Nopember 1998), acara Cak Nun/Kiai Kanjeng/Hamas di Undip, kemudian IAIN &qu