Kami
15 bersaudara dan dari yang sulung hingga yang bontot selalu gagal
menjadi Lurah di desa kami. Dulu Buyut kami, dari jalur Ibu, menjadi
Lurah. Turun-temurun. Kakek kami juga Lurah. Malah berganti ke beberapa
adiknya juga menjadi Lurah. Tapi sejak Bapak kami, tak ada lagi Lurah
dari keluarga kami sampai hari ini.
Bapak
kami gagal menjadi Lurah karena pada saat-saat menjelang Kakek akan
sèlèh alias lèngsèr, sejumlah keluarga besar dan kuat mulai menunjukkan
sikap permusuhan kepada Bapak kami. Tanda-tanda permusuhannya adalah
sikap sehari-harinya yang berubah. Menyebarkan rerasanan atau isu ke
seantero desa tentang keluarga kami. Sampai tingkat fitnah, karangan dan
khayal-khayal yang lucu.
Bapak
kami cukup cerdas untuk mengerti bahwa publik mulai menghirup atmosfer
demokrasi. Kelurahan jangan bersifat monarki, jangan selalu pemimpin
desa dari keluarga yang itu-itu saja. Bapak juga cukup peka bahwa
sejumlah keluarga memiliki aspirasi untuk menyongsong era demokratisasi
kepemimpinan desa. Jangan simpulkan bahwa sejumlah tokoh desa berambisi
untuk mendirikan monarki baru. Ini adalah awal dari keindahan demokrasi.
Bapak
mengemukakan kepada 15 putra-putrinya bahwa tidak indah kalau keluarga
kita terus-menerus menjadi petinggi desa. Generasi kita harus mulai
belajar menjadi rakyat. Di samping itu, secara khusus Bapak kami juga
mengemukakan dengan suara pelan bahwa ia tidak mampu menjadi Lurah.
“Lho, kenapa Pak?”, kakak sulung kami bertanya.
“Daripada
kita menjadi pemimpin desa tapi kehilangan persaudaraan dengan
beliau-beliau yang berambisi menjadi Lurah, saya memilih mendekati
mereka untuk memastikan persaudaraan dan merawat silaturahmi antara
keluarga mereka dengan keluarga kita. Kita tidak menjadi apa-apa tidak
masalah, daripada kita menjadi apa-apa tapi ongkosnya adalah permusuhan
dan kebencian dengan orang lain”
Kakak
kami terus mendesak. “Kan sudah turun-temurun sejak Kik Ronopati semua
masyarakat sudah membuktikan bahwa keluarga kita yang paling mampu
memimpin mereka. Dan rakyat dari generasi ke generasi juga sudah
terbiasa dengan cara keluarga kita memimpin”
Bapak
kami mempertahankan pendapatnya. “Zaman sudah berubah, Nak. Hutan rimba
sudah mulai menjadi taman dan kebun. Urusannya sekarang bukan nasab
atau genealogi, melainkan kredibilitas dan profesionalitas…”
“Saya
yakin kita juga menang dengan kriteria itu”, Kakak kami terus
membantah, “Kita lebih berpengalaman, kita lebih rajin belajar, kita
sudah menetapkan seluruh hidup kita adalah untuk pengabdian. Silahkan
kita dipertandingkan di depan seluruh rakyat, terserah bagaimana cara
bertandingnya. Tapi saya yakin kita sangat unggul”
Bapak tertawa. “Di situlah letak ketidakmampuan saya.”
“Maksudnya?”, Kakak mengejar.
“Saya
tidak tega untuk berdiri lebih tinggi dari orang lain, lebih hebat,
lebih dewasa, lebih berpengalaman, lebih matang, mungkin juga lebih
punya ilmu dan keluasan pengetahuan dibanding orang lain”
“Ah, Bapak cengeng…”, kata Kakak.
Bapak
mencoba menjelaskan lebih jauh. “Hati Bapakmu ini lemah. Tidak punya
kekuatan mental untuk menjadi pemimpin. Bapak terlalu didominasi oleh
rasa bersalah. Khalifah Umar bin Khattab dulu mendengar ada onta
terpeleset di tempat yang jauh tapi masih dalam lingkup kekhalifahannya.
Beliau langsung frustrasi dan membenturkan kepalanya di tembok…”
“Sangat bisa dipahami”, kata Kakak.
Bapak
meneruskan: “Kalau zaman tidak serusak sekarang, masih mungkin Bapak
berpikir menjadi Lurah. Tapi dengan komplikasi penyakit zaman seperti
sekarang ini, kalau Bapak jadi Lurah, berapa kali Bapak membenturkan
kepala Bapak ke dinding. Segala macam jenis penyakit merajalela,
semakin menghancurkan manusia dan masyarakat. Sakit mental, sakit akal,
sakit ilmu, sakit tatanan, sakit logika, sakit ketimpangan, sakit
ketidakseimbangan, sakit egosentrisme, sakit sok hebat, sakit tidak tahu
malu, sakit tidak tahu diri. Bukan hanya soal ekonomi desa dan
kesejahteraan penduduk yang harus Bapak pertanggungjawabkan di hadapan
rakyat, anak cucu dan Tuhan. Tapi juga martabat masyarakat dan manusia,
keamanan nyawa mereka, kelestarian alam dan seluruh aset-aset desa yang
dititipkan oleh Allah. Bapak belum tentu sanggup mengatasi semua.
Ngelihat satu pengemis saja di tepi jalan, hati Bapak remuk dan muncul
satu retakan di kepala Bapak. Tak sampai sebulan menjadi Khalifah,
Bapak pasti pecah dan remuk kepala Bapak…”
Alhasil
akhirnya Bapak berhasil meyakinkan kami semua kenapa ia tidak mau
menjadi Lurah. Pada kenyataannya, Lurah kami yang baru menjadi bersikap
baik kepada Bapak dan kami semua, karena sudah terbukti bahwa Bapak
bukan kompetitornya.
Entah
kenapa Bapak selalu menghindar untuk bertemu dengan Pak Lurah. Tetapi
Bapak memberi banyak fasilitas untuk rakyatnya. Bapak kasih tanah untuk
lapangan sepakbola, membelikan alat berbagai jenis olahraga. Membikinkan
Perpustakaan, Koperasi Sembako, bikin kelompok-kelompok dengan
menyediakan alat-alatnya, berlangganan majalah dan koran-koran untuk
umum, dan banyak lagi.
Setiap Hari Besar, Bapak sembelih sapi, kerbau atau kambing-kambing, untuk kenduri massal bersama penduduk desa.
Bapak
gagal jadi Lurah. Generasi sesudah Bapak juga gagal. Kakak-kakak saya,
sampai adik bungsu saya, selalu dicalonkan oleh banyak penduduk untuk
menjadi Lurah. Dan gagal sampai hari ini. Maksud saya, kami semua
berhasil untuk tidak menjadi Lurah.*
Emha Ainun Nadjib.
Yogya 31 Juli 2017.
#Khasanah
- Get link
- X
- Other Apps
Comments