Skip to main content

Posts

Showing posts from April, 2010

Para Patriot (4)

Anak kita yang lain dari Jl. Kartini, Babad, juga memerlukan bantuan biaya untuk sekolah, sambil mengutip Surat at-Taubah 103 rnengenai "mensucikan harta" dengan cara menyedekahkan. Sambil mengingatkan agar tak usah "menodong" dengan ayat, saya tetap imbaukan kepada calon Bapak atau Ibu Penyantun. Termasuk buat anak kita yang lain, siswa Aliyah di Guluk-Guluk (Luk-Guluk), Sumenep, Madura, yang orang tuanya megap-megap karena kapital teri tembakaunya semakin tak bisa diandalkan. "Pekerjaan saya dan keluarga adalah bercocok tanam," katanya, "Cak Nun, apakah zaman sekarang ini memang bukan zamannya kaum tani? Apakah ini yang disebut Gelombang Industri dan Gelombang Teknologi Informasi, di mana Gelombang Agraris sudah lewat, sehingga kami tak punya prospek hidup?" Jembatan Madura-Surabaya baru akan dibangun, memang. Artinya, dari Madura yang masa silam" baru akan ada jembatan ke masa depan" itu akan juga sangat menggelisahkan. Belum tentu M

Para Patriot (3)

Anak kita, seorang pelajar SMA yang tinggal di Jalan. P. Sentik, Tanah Grogot, Kalimantan Timur, berkirim surat meminta sebuah mesin ketik. "Itu sangat berarti bagi saya, untuk mengembangkan bidang tulis menulis untuk dimuat di media massa," katanya. Ini salah satu contoh dari banyak anak-anak kita yang bersurat ke rubrik ini, yang memandang kehidupan ini sedemikian sederhana dan penuh jalan pintas. Bekerja sebagai penulis sedemikian gampangnya: ada mesin ketik, menulis, lantas dimuat di media massa. Padahal jarak antara mesin ketik dengan menulis itu bukan main lebar dan ruwetnya. Apalagi jarak antara tulisan dengan pemuatan di media massa. Tentu saja akan sangat mengharukan kalau lantas ada yang bermurah hati mengiriminya mesin ketik. Tetapi harus kita ingatkan bahwa itu belum tentu merupakan 'jalan keluar' bagi sukses menjadi seorang penulis. Juga pastilah siapa saja yang beritikad untuk menolong, ia berhak dan memang lebih afdhal apabila terlebih dahulu bersilatur

Para Patriot (2)

Seorang pendeta di Tarus, Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang saya pernah bersendau gurau dengannya semalam-malaman, menginginkan anggotanya dalam organisasi pengembangan masyarakat ke Pulau Flores yang ditimpa bencana, untuk melihat apa-apa yang mereka bantu. Memang ada beribu hal yang diperlukan oleh penduduk pulau malang itu dan setiap orang, setiap kelompok atau institusi, menjajaki tingkat kesanggupannya untuk menolong. Salah seorang anggota yang dikirim itu, sesudah melihat lapangan, mengajukan proposal kepada Pak Pendeta: Butuh biaya kurang lebih satu juta rupiah untuk perbaikan dua mushalla yang legrek (rusak berat) oleh gempa. Ibarat kalau ada orang kejet-kejet ditabrak truk, segera saja Anda lari menolongnya, tak usah dulu tanya kepada korban apa agamanya, apa madzabnya, apa alirannya dan apa proposalnya. Dan Pak Pendeta ini dengan senang hati bersurat melanjutkan keperluan perbaikan tempat ibadat itu. "Tapi terus terang saya agak takut-takut inisiatif saya ini tidak diduk