Skip to main content

Posts

Showing posts from December, 2009

Agama yang kontekstual Terhadap perubahan Sosial

Agama sedang digadang-gadang untuk berperan memperbaiki peradaban masa depan ummat manusia. la ibarat pelita kecil di sayup-sayup abad 21 yang dituntut untuk menjanjikan sesuatu sejak sekarang. Kecemasan para pakar pemerhati sejarah terhadap hampir seluruh evil product bidang-bidang politik, ekonomi, budaya serta semua muatan perilaku sejarah umat manusia, akhimya diacukan kepada kemungkinan peran agarna. Tulisan ini sekedar peimintaan interupsi sesaat, yang penawaran tesisnya amat bersahaja. Sebaiknya kita tidak usah terlalu tergesa-gesa memperpanjang pembicaraan tentang apa yang didorongkan oleh agama terhadap proses perubahan sosial, sebelum kita benahi dahulu dasar filosofi, epistemologi, atau bahkan "sekedar" struktur logika kita dalam memahami Agama. Pada akhimya ini mungkin "sekadar persoalan tetapi saya tidak bisa berhenti pada anggapan demikian. Saya tidak pemah sanggup mengucapkan kata "Agama berperan dalam ..,". Saya hanya bisa menjumpai agama sebaga

Pemantapan Cara Berfikir Islami

Iftitah : Nyala Obor Kaum Ilmuwan 0rang-orang berilmu selalu berada di garis depan sejarah. Kaurn Ilmuwan adalah obor setiap perjalanan peradaban manusia. Obor kaum ilmuwan rnenentukan lancar atau macetnya langkah seluruh musafir kemanusiaan. Obor yang menyala terang memancarkan gerakan-gerakan cahaya apinya ke depan menuding cakrawala agar mata kemanusiaannya tak buta, membuat wajilat qulubuhum, tergetar hati mereka oleh segala pemandangan dan ilmu karya Allah yang mentakjubkan, membuat mereka bergairah dan bertawadlu memuji-muji kebesaranNya. Adapun obor yang suram atau padam akan menciptakan kegelapan yang menjadikan setiap pejalan sejarah bertabrakan satu sama lain, terserimpung oleh kaki-kaki mereka sendiri, terjatuh dan saling tindih menindih di lumpur. Obor kaum ilmuwan yang tergenggam di tangan mereka diciptakan oleh Allah melalui sumpah Alif Lam Mim (Q.2:1). Nyala api obor itu bergelar Qur'an yang "tiada keraguan sedikitpun padanya sebagai petunjuk bagi mereka yang se

KONSUMERISME : Ular-ular Sihir Yang Dilawan Musa

Konsumerisme ialah keadaan di mana mekanisme konsumsi sudah menjadi bagian yang substansial dari kehidupan manusia. 'Bagian substansial' maksudnya bagian kehidupan yang seolah-olah dianggap 'wajib' atau tidak lagi ditinggalkan. Jadi, konsumsi sudah menjadi 'isme', sudah menjadi atau berlaku sebagai semacam 'agama'. Keberlangsungan konsumerisme ditentukan ketika nilai dan potensi kreativitas manusia atau masyarakat dikapitalisir, dijadikan alat pemenuhan kebutuhan yang dijualbelikan. Konsumerisme sesungguhnya sekaligus merupakan kasus ekonomi, kasus budaya, bahkan bisa dilatari atau ditujukan untuk proses-proses politik. Oleh karena itu konsumerisme sebenamya bisa memiliki sisi yang bermacam-macam: ada konsumerisme dalam bidang pendidikan (sebutlah umpamanya 'konsumerisme etos-etos akademik'), ada konsumerisme terkandung dalam alam kehidupan beragama (umpamanya ummat menuntut mubaligh tertentu yang bisa memenuhi selera budaya mereka berdasarkan si

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

WARUNG JODOH

Mungkinkah di warung kopi, pelanggan ketemu jodoh? Tentu saja mungkin "... lnna khalaqnakum min dzakarin wa untsa . lita'arafu . ." -- kata Tuhan -- "...Kuciptakan kalian menjadi lelaki dan wanita ...untuk saling berkenalan..." Saling berkenalan. Boleh di asrama, di terminal, maupun di warung kopi. Mencari jodoh itu mulia. Dan kalau toh pelanggan masih gagal ketemu jodoh, siapa tahu malah penjaga warungnya yang ketiban pulung. Misalnya seorang pelanggan wanita usul: mBok tolong bikin kopi campur jahe! -- Disebut oleh pelanggan lelaki: Lho, kok selerenya sama dengan saya? Nah, dialog, lita'arafu. tinggal diteruskan. Saya sendiri beberapa bulan terakhir ini banyak keliling ke berbagai tempat di Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur, dalana rangka 'mencarikan jodoh' seorang karib yang nasibnya agak malang. Aduh tapi susahnya. Kalau pas dia mau, cewenya yang ogah. Kalau cewenya ngebet, dia yang kurang stroom. Padahal sudah empat bulan ini karib kita itu pu

PECEL BELUT

Mungkin saja Anda kini sedang sibuk memulai 'Pelita' baru warung Anda. Tubuh warung gedhek dilapisi koran supaya sedikit cemerlang, meja kursi dibikin mulus, toples dan piring gelas diusahakan mengkilat, dan yang terpenting Anda persiapkan menu-menu baru yang istimewa dan unik. Mungkin Anda mau populerkan -- sebutlah -- "Es Gombloh", pecel belut model kontemporer yang dibikin punya rasa salad Amerika, memperkenaikan sarakbah dari seberang laut, atau ballut ala negeri Cory Aquino. Pokoknya suguhan serba sip. Setiap pelanggan rnerasa fly to heaven dan akan senantiasa terkenang-kenang, lantas memutuskan menu makanan warung Anda adalah pacar atau istri kedua. Nah, 'Pelita' Anda tak cukup hanya dengan membenahi 'segi internal' warung. Sesudah menu mumpuni, soalnya adalah bagaimana cara menjualnya, di mana Anda menjualnya dan kepada siapa saja berita tentang warung Anda harus disampaikan. Bagi beberapa putuh orang yang sudah selalu makan di warung Anda, peru

OH BENTEN! IK WELLEN IK BODDEN ANDERSTEKEN VERSTEKEN!

Allah Yang Maha Baik menakdirkan saya untuk kaya raya. Kaya raya karena betapa banyak kesempatan untuk memberi dan memberi dan memberi. Pak becak, berapa harga kau tawarkan? Akan kutawar sampai harga paling wajar, nanti kubayar dua kali lipat, tanpa kuberitahukan sebelumnya. Ayo para penjual barang eceran, yang hidup dari laba 25 atau 50 rupiah! Gandakan harga jual barangmu nanti kutambah seratus dua ratus rupiah. Kuintip setiap kesempatan untuk melempar seratus dua ratus, seribu dua ribu -- tapi sepuluh dua puluh ribu aku belum marnpu. Allah yang Maha Baik menakdirkan saya untuk kaya raya. Alangkah nikmat rasa memberi. Betapa segar sehabis memberi. Dan kalau pemberitahuanku tentang memberi ini merupakan riya' atau kesombongan, biarlah batal pahalaku. Aku ingin nemberikan pemberitahuan ini. Aku tidak ingin membeli pahala. Aku ingin memberi. Memberi apa saja, uang, benda, tenaga, peluh, pikiran, jiwa, diri, dan hidup ini sendiri. Tapi tolong jangan seluruhnya. Sisakan sejumput saja

UNVERSITAS PALING JUJUR

Seminggu dua minggu ini saya banyak ketemu wartawan di berbagai kota. Mereka 'menyelenggarakan' saya untuk ngomong tentang hal-hal yang besar, umpamanya tentang kebudayaan dunia mutakhir, kebudayaan Indonesia alternatif pokoknya sesuatu yang besar, luas, dan gampang dikarang-karang. Padahal saya sebenarnya lebih sreg kalau mereka bertanya tentang terminal bis, yang seminggu dua minggu ini me:-upakan bagian amat penting dari 'proses kuliah kehidupan' yang saya alami. Andaikan saja mereka bertanya: Di mana inti kebudayaan dunia modern? Saya setidaknya buat sementara -- akan mantap menjawab: Di terminal bis. Kalau saja mereka bertanya: Di mana Anda kuliah? Saya pasti akan menjawab: Di terminal bis. Lantas akan saya tambahi sendiri pertanyaan itu: Di mana universitas terbesar? Di mana universitas yang paling terbuka dan paling jujur mengekspresikan dirinya? Dan saya jawab sendiri: Di terminal bis. Saya menyesal kenapa saat ini saya bukan seorang mahasiswa yang sedang mendap